Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Demokrasi Berlabel Amuk Massa

Kompas.com - 04/04/2013, 11:40 WIB

Oleh M DARWIS

KOMPAS.com - Amuk massa di Kota Palopo mengejutkan berbagai kalangan masyarakat. Berjarak sekitar 300 km dari Makassar, Sulawesi Selatan, Palopo adalah kota kecil, ibu kota Kerajaan Luwu pada masa lalu.

Kehidupan sosial masyarakat yang relatif aman dan damai ternyata menyimpan bibit konflik laten. Muncul amuk massa pada Minggu (31/3) ketika hasil pemilihan wali kota dianggap sarat kecurangan. Tindakan anarki pendukung calon wali kota itu tentu saja tak menunjukkan ciri dan karakter ”Wija to Luwu” yang senantiasa menjunjung tinggi sportivitas dan kesediaan menerima perbedaan.

Inilah nilai-nilai yang mereka warisi dari nilai budaya Kerajaan Luwu. Dalam kisah Sawerigading, kejayaan Kerajaan Luwu yang heroik diceritakan telah melanglang buana ke negeri China, bahkan mempersunting putri kerajaan China, We Cudai. Artinya, masyarakat Luwu bisa bergaul dan menerima bangsa lain ke dalam kehidupan sosialnya. Peristiwa amuk massa mementahkan anggapan itu.

Penduduk Kota Palopo pada dasarnya adalah majemuk. Meski suku utamanya Luwu, beragam etnis ada di sana, termasuk transmigran, demikian pula agama dan identitas sosial lainnya. Palopo adalah gambaran Indonesia mini. Masyarakat Palopo secara politik dan ekonomi cenderung tidak memiliki kehendak bersama. Dengan demikian, Kota Palopo dapat dikategorikan daerah rawan konflik atau memiliki kondisi disintegratif.

Tindakan anarki cenderung menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia belakangan ini. Freek Colombijn dan J Thomas Lindblad dalam Roots of Violence in Indonesia (2000) menyatakan, kekerasan bukan lagi dampak dari situasi yang khaos, melainkan cenderung suatu upaya penyelesaian masalah dalam situasi permisif di Indonesia.

Pembiaran aparat

Beberapa hari sebelum terjadi amuk massa, perbincangan hangat berlangsung di kalangan warga baik di pasar maupun di warung kopi di Kota Palopo. Mereka memperkirakan akan terjadi khaos antarpendukung, bahkan media massa di Makassar pun sudah memberitakannya. Namun, aparat keamanan tak menunjukkan kesiapan mengantisipasi kejadian, terutama menempatkan aparat di lokasi perusakan. Aparat hanya berjaga di KPU Palopo. Sementara tempat vital lain luput dari penjagaan. Karena itu, wajar bila opini yang berkembang di masyarakat, baik di Makassar maupun di Kota Palopo, aparat keamanan melakukan pembiaran. Mereka bahkan menuding, kejadian itu hasil rekayasa karena gedung dirusak dalam waktu bersamaan, sedangkan aparat yang bertugas saat kejadian terbatas.

Dwia Aries Tina dalam Kekerasan Komunal dan Damai, Studi Konflik Sosial Luwu (2005) menemukan setidaknya ada tiga faktor kondisional yang menjadi penyebab konflik mendasar dan satu faktor utama penyebab: 1. Hilangnya katup pengaman konflik, yang bekerja secara meluas dan institusional bagi masyarakat Luwu, 2. Hilangnya kekuatan pengikat masyarakat yang biasanya dijalankan kekuasaan elite secara adil. Sebaliknya, yang ada adalah kecenderungan elite pemerintah memihak kepentingan pasar dan kapitalis sehingga mengondisikan terjadi perampasan sumber daya dan penyempitan ruang hidup sosial antarwarga, 3. Terdapat kondisi struktural bagi masyarakat dalam bentuk modernisasi dan pembangunan yang mengondisikan terjadi kompetisi ekonomi antarwarga, 4. Konflik sosial yang terjadi di tingkat komunitas tak dikelola efektif oleh pemerintah dan komunitas yang berkonflik.

Keempat faktor itu berperan mengondisikan amuk massa di Kota Palopo, dan kemudian memacu lebih ke bentuk perilaku, bukan hanya dalam batas sikap. Inilah yang ditandai dengan adanya kekerasan ”menghancurkan” properti milik pemerintah dan swasta sebagai simbol perlawanan atas ketidakadilan yang dianggap dilakukan penyelenggara pemilu wali kota beserta jajarannya.

Kondisi diperparah pembiaran aparat keamanan dengan tidak menyiapkan personel yang memadai dan mengesampingkan informasi intelijen daerah. Padahal, perbincangan warga marak di mana-mana tentang akan adanya kelompok yang tak puas dengan hasil penetapan KPU Palopo.

Demokrasi prosedural

Putaran pertama pemilihan wali kota Palopo dilaksanakan bersama pemilihan gubernur Sulsel. Namun, hasilnya tak ada pasangan yang memperoleh suara di atas 30 persen sehingga pilkada berlangsung dua putaran. Pelaksanaan pada awalnya berjalan lancar sesuai dengan tahapan yang ditetapkan KPU Palopo. Terjadi persaingan ketat, bahkan putaran pertama dimenangi pasangan Haidar-Thamrin. Namun, putaran kedua dimenangi Judas-Akhmad dengan selisih 738 suara sehingga pendukung Haidar-Thamrin menganggap ada permainan ”kotor” penyelenggara.

Sangat disayangkan, kekecewaan pendukung Haidar-Thamrin terhadap hasil penetapan KPU Palopo tak disalurkan ke proses hukum. Padahal, mereka bisa mengajukan keberatan ke Mahkamah Konstitusi. Mereka justru bertindak anarkis dengan amuk massa dan merusak gedung yang menimbulkan suasana mencekam dan menebar ketakutan kepada masyarakat Palopo.

Tindakan massa pendukung ini tidak mencerminkan sikap demokratis dan tidak memahami esensi nilai demokrasi. Dalam kontes pemilihan, apakah itu wali kota, gubernur, atau presiden sekalipun, para kontestan peserta berkomitmen siap kalah dan siap menang.

Sikap calon beserta pendukung yang awalnya berkomitmen siap kalah dan siap menang ternyata semu belaka. Mereka hanya siap menang dan tak siap kalah. Proses demokrasi hanya dipahami sebagai suatu prosedur dan mengabaikan substansi demokrasi itu. Kekecewaan sama sekali tak boleh dilampiaskan dengan tindakan destruktif, merusak properti negara, apalagi ”membunuh” pendukung lain. Dalam aksi amuk massa itu, yang juga memprihatinkan adalah kehadiran aparat keamanan di tempat kejadian yang tidak mampu berbuat ataupun mencegah.

Keprihatinan semakin mendalam karena para tokoh dan pemimpin massa bukannya menenangkan, tetapi justru cenderung memprovokasi. Tidaklah mengherankan bila massa semakin beringas, barbar, dan tidak takut dampak hukumnya. Inilah saatnya bagi para pemimpin di republik ini mengevaluasi sekaligus mencegah kejadian serupa ke depan.

Para pemangku kepentingan perlu mencari jalan mengatasi kondisi pemicu konflik. Pemerintah dan aparat keamanan perlu lebih membumi untuk menyerap isu yang berkembang di masyarakat dan menyiapkan antisipasi total. Pembiaran—lebih buruk lagi bila itu kesengajaan—sama sekali tak boleh ditoleransi. Semua harus diusut dan diproses hukum hingga tuntas agar kekerasan tidak terjadi lagi.

M DARWIS Sosiolog Unhas; Mantan Anggota KPU Sulsel; Ketua Jurusan Sosiologi FISIP Unhas

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Usul Prabowo Tambah Kementerian Diharap Bukan Politik Akomodatif

    Usul Prabowo Tambah Kementerian Diharap Bukan Politik Akomodatif

    Nasional
    Pakar Ungkap 'Gerilya' Wacana Tambah Kementerian Cukup Gencar

    Pakar Ungkap "Gerilya" Wacana Tambah Kementerian Cukup Gencar

    Nasional
    Daftar Kepala BIN dari Masa ke Masa, Zulkifli Lubis hingga Budi Gunawan

    Daftar Kepala BIN dari Masa ke Masa, Zulkifli Lubis hingga Budi Gunawan

    Nasional
    Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

    Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

    Nasional
    Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

    Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

    Nasional
    'Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit'

    "Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit"

    Nasional
    Pengamat Nilai Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres Jadi Motivasi Kandidat Pilkada Berbuat Curang

    Pengamat Nilai Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres Jadi Motivasi Kandidat Pilkada Berbuat Curang

    Nasional
    PPP Papua Tengah Klaim Pegang Bukti Kehilangan 190.000 Suara pada Pileg 2024

    PPP Papua Tengah Klaim Pegang Bukti Kehilangan 190.000 Suara pada Pileg 2024

    Nasional
    Koarmada II Kerahkan 9 Kapal Perang untuk Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Termasuk KRI Alugoro

    Koarmada II Kerahkan 9 Kapal Perang untuk Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Termasuk KRI Alugoro

    Nasional
    Kandidat Versus Kotak Kosong pada Pilkada 2024 Diperkirakan Bertambah

    Kandidat Versus Kotak Kosong pada Pilkada 2024 Diperkirakan Bertambah

    Nasional
    Rencana Prabowo Bentuk 41 Kementerian Dinilai Pemborosan Uang Negara

    Rencana Prabowo Bentuk 41 Kementerian Dinilai Pemborosan Uang Negara

    Nasional
    Di MIKTA Speakers’ Consultation Ke-10, Puan Suarakan Urgensi Gencatan Senjata di Gaza

    Di MIKTA Speakers’ Consultation Ke-10, Puan Suarakan Urgensi Gencatan Senjata di Gaza

    Nasional
    KPK Sebut Kasus Gus Muhdlor Lambat Karena OTT Tidak Sempurna

    KPK Sebut Kasus Gus Muhdlor Lambat Karena OTT Tidak Sempurna

    Nasional
    TNI AL Ketambahan 2 Kapal Patroli Cepat, KRI Butana-878 dan KRI Selar-879

    TNI AL Ketambahan 2 Kapal Patroli Cepat, KRI Butana-878 dan KRI Selar-879

    Nasional
    Sejarah BIN yang Hari Ini Genap Berusia 78 Tahun

    Sejarah BIN yang Hari Ini Genap Berusia 78 Tahun

    Nasional
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com