Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hakim Tak Bebankan Pembuktian Terbalik kepada Syarifuddin

Kompas.com - 28/02/2012, 14:40 WIB
Icha Rastika

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi tidak sependapat dengan jaksa penuntut umum yang meminta hakim nonaktif Syarifuddin membuktikan asal usul pecahan mata uang asing miliknya melalui pembuktian terbalik. Dalam amar putusannya, hakim memerintahkan agar pecahan mata uang asing yang nilainya lebih dari Rp 2 miliar itu dikembalikan kepada Syarifuddin.

"Barang bukti yang disita dari rumah terdakwa harus dikembalikan ke terdakwa," kata hakim Gusrizal membacakan amar putusan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Selasa (28/2/2012).

Putusan ini disusun Majelis Hakim yang dipimpin Gusrizal (ketua) dengan hakim anggota Ugo, Mien Trisnawati, Sofialdi, dan Anwar. Majelis hakim menjatuhkan hukuman empat tahun penjara kepada Syarifuddin karena hakim nonaktif Pengadilan Negeri Jakarta Pusat itu terbukti menerima suap Rp 250 juta dari kurator Puguh Wirawan terkait penanganan harta pailit PT SkyCamping Indonesia.

Saat penggerebekan rumah Syarifuddin beberapa waktu lalu, penyidik KPK menemukan sejumlah pecahan mata uang asing yang terdiri dari 116.000 dollar AS, 245.000 dollar Singapura, 20.000 yen Jepang, 12.600 riel Kamboja, dan 5.900 bath Thailand, disamping uang Rp 55 juta.

Menurut majelis hakim, Syarifuddin tidak perlu melakukan pembuktian terbalik atas kepemilikan pecahan mata uang asing tersebut. Pembuktian terbalik dalam perkara korupsi, katanya, bersifat terbatas, hanya dapat dilakukan terkait dakwaan yang memuat pasal tertentu.

Berdasarkan Pasal 38 Ayat 1 Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, setiap orang yang didakwa melakukan salah satu tindak pidana korupsi, sebagaimana dimaksud Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 UU Tipikor, wajib membuktikan sebaliknya terhadap harta benda miliknya yang belum didakwakan, tetapi juga diduga berasal dari tindak pidana korupsi.

Sementara, Syarifuddin tidak dikenai pasal-pasal tersebut. Ia dijerat Pasal 5 Ayat (2) juncto Ayat 1 huruf b Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Selain itu, pecahan mata uang asing senilai lebih dari Rp 2 miliar tersebut tidak ada dalam dakwaan jaksa penuntut umum, sehingga tidak menjadi pertimbangan hakim.

"Penuntut umum tetap harus buktikan dakwaan terlebih dulu, harus ada dakwaan yang diajukan penuntut umum, dakwaan hanya Rp 250 juta, maka majelis hanya pertimbangkan (uang Rp 250 juta) itu," kata Ugo.

"Oleh karena uang barang bukti lain yang tidak ada hubungan dengan perkara pokok tidak dapat dipertimbangkan, harus dikembalikan ke terdakwa," lanjutnya.

Sebelumnya jaksa penuntut umum yang diketuai Zet Tadung Allo meminta hakim membuka sidang pembuktian terbalik bagi Syarifuddin. Jaksa menilai, kepemilikan mata uang asing itu tidak wajar sehingga patut diduga berasal dari tindak pidana korupsi.

Seusai persidangan, jaksa Zet mengatakan, meskipun tidak ada dalam dakwaan, pecahan mata uang asing itu seharusnya dapat dibuktikan asal usulnya melalui pembuktian terbalik. "Pasal 38 b, terdakwa wajib buktikan harta benda yang tidak didakwakan, halal atau tidak," kata jaksa Zet.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Daftar Kepala BIN dari Masa ke Masa, Zulkifli Lubis hingga Budi Gunawan

Daftar Kepala BIN dari Masa ke Masa, Zulkifli Lubis hingga Budi Gunawan

Nasional
Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

Nasional
Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

Nasional
'Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit'

"Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit"

Nasional
Pengamat Nilai Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres Jadi Motivasi Kandidat Pilkada Berbuat Curang

Pengamat Nilai Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres Jadi Motivasi Kandidat Pilkada Berbuat Curang

Nasional
PPP Papua Tengah Klaim Pegang Bukti Kehilangan 190.000 Suara pada Pileg 2024

PPP Papua Tengah Klaim Pegang Bukti Kehilangan 190.000 Suara pada Pileg 2024

Nasional
Koarmada II Kerahkan 9 Kapal Perang untuk Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Termasuk KRI Alugoro

Koarmada II Kerahkan 9 Kapal Perang untuk Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Termasuk KRI Alugoro

Nasional
Kandidat Versus Kotak Kosong pada Pilkada 2024 Diperkirakan Bertambah

Kandidat Versus Kotak Kosong pada Pilkada 2024 Diperkirakan Bertambah

Nasional
Rencana Prabowo Bentuk 41 Kementerian Dinilai Pemborosan Uang Negara

Rencana Prabowo Bentuk 41 Kementerian Dinilai Pemborosan Uang Negara

Nasional
Di MIKTA Speakers’ Consultation Ke-10, Puan Suarakan Urgensi Gencatan Senjata di Gaza

Di MIKTA Speakers’ Consultation Ke-10, Puan Suarakan Urgensi Gencatan Senjata di Gaza

Nasional
KPK Sebut Kasus Gus Muhdlor Lambat Karena OTT Tidak Sempurna

KPK Sebut Kasus Gus Muhdlor Lambat Karena OTT Tidak Sempurna

Nasional
TNI AL Ketambahan 2 Kapal Patroli Cepat, KRI Butana-878 dan KRI Selar-879

TNI AL Ketambahan 2 Kapal Patroli Cepat, KRI Butana-878 dan KRI Selar-879

Nasional
Sejarah BIN yang Hari Ini Genap Berusia 78 Tahun

Sejarah BIN yang Hari Ini Genap Berusia 78 Tahun

Nasional
Presiden Jokowi Bakal Resmikan Modeling Budidaya Ikan Nila Salin di Karawang Besok

Presiden Jokowi Bakal Resmikan Modeling Budidaya Ikan Nila Salin di Karawang Besok

Nasional
Di Forum MIKTA Meksiko, Puan Bahas Tantangan Ekonomi Global hingga Persoalan Migran

Di Forum MIKTA Meksiko, Puan Bahas Tantangan Ekonomi Global hingga Persoalan Migran

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com