Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pancasila Jadi Pepesan Kosong

Kompas.com - 21/05/2011, 14:49 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com Selama ini Pancasila menghadapi persoalan mendasar sebelum diterapkan lebih jauh sebagai sikap hidup. Sebagai ideologi negara, Pancasila lebih banyak dianggap sebagai pepesan kosong akibat inflasi pengucapan kata-kata yang luar biasa selama ini.

Menurut pengamat politik Reform Institute, Yudi Latief, saat berbicara di Redaksi Kompas, Jumat (20/5/2011), penataran Pedoman Penghayatan dan Penerapan Pancasila (P4), buku-buku, dan pidato para pejabat di mana-mana tentang Pancasila tidak memiliki satu pun kandungan yang dapat diterapkan. Masyarakat juga tidak pernah yakin sila-sila Pancasila itu memiliki substansi, yang dapat memberikan semangat dan apresiasi.

"Oleh sebab itu, Pancasila seharusnya juga mengalami proses radikalisasi dalam arti yang positif, yaitu penjangkaran atau pengakaran lebih dalam di masyarakat," katanya.

Selama ini, menurut Yudi, proses radikalisasi dilakukan hanya untuk kepentingan negara, khususnya aparat pemerintah. "Pancasila lebih digunakan untuk meladeni negara. Prosesnya top down dan tidak memberi ruang publik untuk melakukan interpretasi dan melahirkan ide-ide yang kreatif," tutur Yudi.

Pancasila lebih banyak diartikan stereotipikal, seperti Pancasila dasar negara, konsensus bersama, digali dari bumi Indonesia, dan lainnya. Akan tetapi, bagaimana selanjutnya penerapan Pancasila yang hanya hafalan 36 butir seperti dalam penataran P4.

Ladeni rakyat

Penulis buku Negara Paripurna: Historitas, Rasionalitas, dan Aktualisasi Pancasila ini mengemukakan, metode pendalaman Pancasila seperti itu menyebabkan masyarakat tidak mendapat penjelajahan yang memadai mengenai isi Pancasila. Ia mengusulkan untuk membangkitkan semangat persatuan Indonesia, misalnya seharusnya ada tayangan pidato Bung Karno di Sidang Badan Penyelidik Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) di gedung Pejambon, Jakarta, tahun 1945, juga pidato Presiden Soekarno di Sidang Umum PBB, New York, Amerika Serikat, tahun 1960.

"Guru-guru pengajar Pancasila setiap tahun kesulitan mengajar. Sebab, apa lagi yang mau diajarkan karena materinya dinilai itu-itu saja. Dengan kata lain, selama ini ada dosa asal dari kalangan akademik di dunia intelektual, yang tidak cukup kreatif mencoba menziarahi Pancasila lebih jauh dengan menggalinya secara historikal," papar Yudi.

Ke depan, kata Yudi, proses radikalisasi Pancasila harus diberi isi dan pemahaman yang substantif, dan tidak hanya melayani vertikal atau kepada negara semata, tetapi juga horizontal serta menjadikan Pancasila sebagai satu disiplin ilmu tersendiri.

 

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    TNI AU Siagakan Helikopter Caracal Bantu Korban Banjir dan Longsor di Luwu

    TNI AU Siagakan Helikopter Caracal Bantu Korban Banjir dan Longsor di Luwu

    Nasional
    Prabowo Diharapkan Beri Solusi Kuliah Mahal dan Harga Beras daripada Dorong 'Presidential Club'

    Prabowo Diharapkan Beri Solusi Kuliah Mahal dan Harga Beras daripada Dorong "Presidential Club"

    Nasional
    Ide 'Presidential Club' Dianggap Sulit Satukan Semua Presiden

    Ide "Presidential Club" Dianggap Sulit Satukan Semua Presiden

    Nasional
    Halal Bihalal, Ganjar-Mahfud dan Elite TPN Kumpul di Posko Teuku Umar

    Halal Bihalal, Ganjar-Mahfud dan Elite TPN Kumpul di Posko Teuku Umar

    Nasional
    Pro-Kontra 'Presidential Club', Gagasan Prabowo yang Dinilai Cemerlang, tapi Tumpang Tindih

    Pro-Kontra "Presidential Club", Gagasan Prabowo yang Dinilai Cemerlang, tapi Tumpang Tindih

    Nasional
    Evaluasi Mudik, Pembayaran Tol Nirsentuh Disiapkan untuk Hindari Kemacetan

    Evaluasi Mudik, Pembayaran Tol Nirsentuh Disiapkan untuk Hindari Kemacetan

    Nasional
    Polri: Fredy Pratama Masih Gencar Suplai Bahan Narkoba Karena Kehabisan Modal

    Polri: Fredy Pratama Masih Gencar Suplai Bahan Narkoba Karena Kehabisan Modal

    Nasional
    SYL Ungkit Kementan Dapat Penghargaan dari KPK Empat Kali di Depan Hakim

    SYL Ungkit Kementan Dapat Penghargaan dari KPK Empat Kali di Depan Hakim

    Nasional
    Saksi Mengaku Pernah Ditagih Uang Pembelian Senjata oleh Ajudan SYL

    Saksi Mengaku Pernah Ditagih Uang Pembelian Senjata oleh Ajudan SYL

    Nasional
    Polri Sita Aset Senilai Rp 432,2 Miliar Milik Gembong Narkoba Fredy Pratama

    Polri Sita Aset Senilai Rp 432,2 Miliar Milik Gembong Narkoba Fredy Pratama

    Nasional
    Pesawat Super Hercules Kelima Pesanan Indonesia Dijadwalkan Tiba di Indonesia 17 Mei 2024

    Pesawat Super Hercules Kelima Pesanan Indonesia Dijadwalkan Tiba di Indonesia 17 Mei 2024

    Nasional
    Daftar Sementara Negara Peserta Super Garuda Shield 2024, dari Amerika hingga Belanda

    Daftar Sementara Negara Peserta Super Garuda Shield 2024, dari Amerika hingga Belanda

    Nasional
    Profil Haerul Amri, Legislator Fraksi Nasdem yang Meninggal Ketika Kunker di Palembang

    Profil Haerul Amri, Legislator Fraksi Nasdem yang Meninggal Ketika Kunker di Palembang

    Nasional
    Demokrat Minta Golkar, Gerindra, PAN Sepakati Usung Khofifah-Emil Dardak di Pilkada Jatim 2024

    Demokrat Minta Golkar, Gerindra, PAN Sepakati Usung Khofifah-Emil Dardak di Pilkada Jatim 2024

    Nasional
    SYL Beli Lukisan Sujiwo Tejo Rp 200 Juta Pakai Uang Hasil Memeras Anak Buah

    SYL Beli Lukisan Sujiwo Tejo Rp 200 Juta Pakai Uang Hasil Memeras Anak Buah

    Nasional
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com