JAKARTA, MINGGU - Pada 25 Januari 2009, Kejaksaan Agung telah menghentikan perkara dugaan korupsi terkait penjualan dua kapal Very Large Crude Cerrier (VLCC) milik PT Pertamina. Alasannya, Badan Pemeriksa Keuangan tidak menemukan pembanding untuk mengukur kerugian negara.
"Mungkin Kejaksaan lupa membaca UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. UU tersebut menyatakan kerugian negara dapat berupa potential lost," ujar Peneliti ICW, Febri Diansyah, kepada wartawan di Kantor ICW, Jakarta, Minggu ( 22/2 ).
Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi, tindak pidana korupsi dapat dilihat dari unsur-unsur perbuatannya saja. Kenapa, lanjutnya, Kejagung hanya melihat dari nilai kerugian negara?
Lagipula, kata Febri, menurut BPK, mereka tidak pernah menyatakan tidak ada kerugian negara dalam kasus VLCC. Yang terjadi justru BPK tidak melakukan pemeriksaan/audit dan merekomendasikan agar Kejaksaan menyewa lembaga appraisal (penilai aset) untuk menghitung harga wajar saat VLCC didivestasi.
"Nah, saya meragukan Kejagung telah menyewa penilai aset," tuturnya.
Sebelumnya, Kejagung telah menetapkan tiga tersangka yakni Laksamana sukardi (mantan menteri BUMN), Arrifi Nawawi (mantan Direktur Utama PT Pertamina), dan Alfred H Rohimone (mantan Direktur Keuangan PT Pertamina).
Kejaksaan meng-SP3-kan perkara itu, karena tidak mau menggantung nasib hukum para tersangka.
Kasus ini bermula pada 11 juni 2004 , ketika direksi dan Komisaris Utama Pertamina menjual 2 kapal tanker nomor 1540 dan 1541 , yang masih dalam proses pembuatan di Korea Selatan. Kapal tersebut dijual kepada perusahaan asal Amerika Serikat, Frontline, tanpa persetujuan Menteri Keuangan. Hal ini dinilai bertentangan dengan pasal 12 ayat 1 dan 2 Keputusan Menteri Keuangan No. 89 tahun 1991 .
Penyidik memperkirakan negara rugi sebesar 20 juta dolar AS dalam kasus itu. Pasalnya, dua kapal tanker itu diduga dijual di bawah harga pasar.
Menurut ICW, jika Kejaksaan berkomitmen pada pemberantasan tindak pidana korupsi, ada alternatif lain yang dapat digunakan untuk menjerat pihak yang terkait dalam kasus VLCC.
"Mereka dapat dijerat dengan delik kolusi sesuai pasal 21 UU No. 28 tahun 1999 . Pasal tersebut menyebutkan setiap penyelenggara negara atau anggota komisi pemeriksa yang melakukan kolusi sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 angka 4 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 12 tahun dan denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp1 miliar," jelas Febri.
Oleh karena itu, ICW mengecam SP3 yang dilakukan Kejaksaan pada kasus VLCC.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.