PERTANYAAN tentang siapa manusia Indonesia mungkin sudah jarang diajukan dalam hiruk pikuk kehidupan dan aktivitas manusia yang semakin kompleks, cepat, dan canggih.
Pertanyaan ini menjadi relevan kembali justru ketika banyak ditemukan anomali antara tujuan hidup manusia dan fakta-fakta yang cenderung merusak tujuan hidup.
Perjalanan dan perburuan untuk sampai pada posisi “sukses” di banyak bidang kehidupan seringkali menemukan anomali pada dirinya sendiri.
Kesuksesannya diraih, tetapi tidak membekas dan merasuk pada ketenangan batin sebagai tujuan terjauh dari manusia.
Bantuan teknologi yang semakin canggih dalam ikut memecahkan dan memudahkan kehidupan manusia tidak selalu berhasil gemilang, bahkan justru sering membawa problem baru.
Diduga ada yang keliru dalam mengelola nalar dan batin manusia oleh manusia itu sendiri.
Dalam bidang kehidupan politik, misalnya, Indonesia baru saja melewati hajatan lima tahunan berupa Pemilu: pemilihan presiden (Pilpres) dan pemilihan legislatif (Pileg).
Secara umum, pelaksanaan Pemilu berjalan aman dan damai. Namun demikian, banyak kalangan menilai bahwa Pemilu 2024 sebagai salah satu dari pilar demokrasi, mengalami perusakan dan penodaan dalam aspek supermasi hukum dan pemuliaan atas nilai-nilai anti-Korupsi, Kolusi, dan Nepotesime (KKN) sebagai cita-cita agung dari semangat Reformasi 1998.
Berbagai isu dan fakta kecurangan dan keadilan Pemilu—terutama oleh kekuasaan—yang disuarakan secara nyaring oleh kalangan perguruan tinggi, tokoh masyarakat, dan masyarakat sipil menjadi catatan kaki yang penting atas kehidupan politik di tahun 2024.
Meskipun teknologi telah menjadi pendamping bagi kerja-kerja politik di semua tahapan pelaksanaan Pemilu, namun dalam dirinya sendiri, menimbulkan masalah baru.
Kecanggihan teknologi dalam banyak hal, oleh pelakunya yang culas justru dijadikan alat untuk memuluskan “kesuksesan” yang tidak berdampak pada tujuan utama kehidupan manusia itu sendiri: ketenangan dan kebahagiaan batin.
Politik sebagai media untuk menyejahterakan masyarakat hanya ditukar posisinya sebatas sebagai alat dan tangga meraih nafsu kekuasaan oleh segelintir elite.
Disadari atau tidak, telah lama ruang kehidupan politik kita hanya dipenuhi oleh berbagai kompetisi untuk merebut kekuasaan.
Seolah, politik Indonesia hanya identik dengan kegiatan Pemilu, Pilkada, dan berbagai kompetisi dalam Munas dan Muktamar partai politik.
Ruang-ruang itu hanya dijejali oleh para elite yang sedang memperjuangkan nasibnya sendiri: siapa dapat apa.