ISU amandemen kelima terhadap UUD 1945 kembali menjadi perbincangan hangat. Banyak pihak yang bertanya-tanya, apakah konstitusi kita perlu diubah lagi atau sebaiknya kembali ke versi aslinya sebelum amandemen.
Setidaknya, terdapat beberapa hal yang perlu dievaluasi, seperti pemilihan presiden, sistem parlemen, dan lain sebagainya.
Namun, dalam tulisan ini, penulis hanya akan fokus pada sistem parlemen.
Setelah amandemen, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memiliki kekuatan besar dalam proses legislasi dan pengawasan terhadap pemerintah.
Kekuatan yang signifikan ini memberikan ruang bagi keterwakilan rakyat yang lebih besar dalam pengambilan keputusan.
Namun, dengan kekuatan besar juga muncul potensi instabilitas politik karena sering terjadi konflik antarpartai.
Sebelum amandemen, presiden memiliki kekuasaan lebih besar, yang memungkinkan terciptanya stabilitas politik lebih baik.
Dengan demikian, jika kita kembali ke versi lama, ada kemungkinan politik menjadi lebih stabil, sebab hal ini akan meminimalkan terjadinya konflik internal maupun antarpartai.
Dari segi efisiensi pemerintahan, sistem sekarang membuat setiap kebijakan dan keputusan pemerintah harus melalui proses persetujuan DPR. Proses ini sering kali memakan waktu tidak sedikit, sehingga memperlambat pengambilan keputusan.
Sebaliknya, dalam UUD 1945 versi lama, presiden dapat mengambil keputusan lebih cepat tanpa banyak hambatan.
Dari segi keterwakilan rakyat, hal ini juga menjadi poin penting dalam diskusi ini. Sistem sekarang memberikan peran besar bagi DPR, yang berarti suara rakyat lebih terwakili dalam pengambilan keputusan negara.
Pada dasarnya, peran besar DPR diharapkan dapat memperkuat demokrasi dengan lebih banyak melibatkan aspirasi masyarakat.
Namun, realitas yang terjadi seringkali jauh dari harapan tersebut. Peran besar ini justru membuka peluang bagi praktik-praktik tidak sehat seperti korupsi dan politik uang, yang merusak esensi dari keterwakilan itu sendiri.
Lebih jauh, keterwakilan rakyat seringkali terdistorsi menjadi keterwakilan politik, di mana posisi penting dalam legislatif lebih banyak diisi oleh orang-orang yang menguntungkan partai politik daripada masyarakat luas.
Situasi ini diperburuk dengan munculnya fenomena politik kekeluargaan, di mana satu keluarga dapat mendominasi pencalonan legislatif dalam satu partai.