JAKARTA, KOMPAS.com - Usulan pemberian kewenangan terhadap Polri untuk memblokir konten dan memperlambat akses internet, dianggap melanggar hak warga di dunia digital.
Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safenet) Nenden Sekar Arum mengungkapkan, kewenangan yang tertuang dalam Revisi Undang-Undang (RUU) Polri itu semakin memberangus kebebasan berpendapat dan berekspresi.
“Kemudian juga hak untuk memperoleh informasi, serta hak warga atas privasi, terutama yang dinikmati di media sosial dan ruang digital,” ujar Nenden di Kantor YLBHI, Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (2/6/2024).
Baca juga: Faktor Ekonomi Jadi Motif Deky Jual Konten Video Porno Anak di Telegram
Menurut Nenden, kebijakan tersebut berpotensi digunakan secara sewenang-wenang oleh kepolisian dan membuat aktivitas masyarakat di ruang siber semakin terbatas.
Hak atas privasi warga juga berpotensi terabaikan dengan dalih memiliki kewenangan, sekaligus menjalankan aturan di dalam beleid tersebut.
“Apalagi kita melihat misalnya di RUU Polri belum ada indikator apa yang bisa membuat kepolisian bisa melakukan proses penindakan, pemblokiran atau pelambatan akses internet,” ujar Nenden.
Atas dasar itu, SAFEnet dan sejumlah organisasi yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil menolak RUU Polri tersebut.
“SafeNet dan teman teman di koalisi menolak proses revisi UU Kepolisian ini. Karena kami tahu di revisi UU ini akan semakin memberangus kebebasan,” kata dia.
Diberitakan sebelumnya, polisi diusulkan bisa melakukan pemblokiran serta upaya pelambatan akses di ruang siber terhadap akses internet publik demi keamanan dalam negeri.
Baca juga: Respons Putusan MA, Demokrat: Bisa Ikut Pilkada Belum Tentu Menang
Hal ini termuat dalam Revisi Undang-Undang (RUU) Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang telah ditetapkan menjadi inisiatif DPR RI dalam rapat paripurna (rapur), Selasa (28/5/2024).
Draft itu didapatkan Kompas.com dari Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Achmad Baidowi atau Awiek.
Pengaturan soal pemblokiran konten di media sosial tersebut diatur dalam Pasal 16 huruf Ayat (1) Huruf q RUU Polri.
Dalam pasal tersebut juga ditulis bahwa Polri berkoordinasi dengan Kementerian Informasi dan Teknologi untuk melakukan tindakan di ruang siber tersebut.
Namun, dalam pasal tersebut tidak dijelaskan lebih lanjut soal keamanan dalam negeri seperti apa yang memerlukan tindakan pemutusan, pemblokiran, dan pembatasan akses internet.
Baca juga: Jokowi Terima Kunjungan Menteri Iklim Norwegia di Istana, Bahas Masalah Sawit hingga Aksi Iklim
“Melakukan penindakan, pemblokiran atau pemutusan, dan upaya perlambatan akses Ruang Siber untuk tujuan Keamanan Dalam Negeri berkoordinasi dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika dan/atau penyelenggara jasa telekomunikasi,” bunyi Pasal 16 huruf Ayat (1) Huruf q RUU Polri.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.