DINAMIKA sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) di Mahkamah Konstitusi (MK) tentang persoalan penyaluran dana bantuan sosial perlu dijadikan pijakan perbaikan data sasaran nasional.
Bantuan sosial (bansos) yang dibutuhkan masyarakat perlu dijadikan standar, supaya tidak dianggap menjadi alat untuk memenangkan salah satu peserta pemilu.
Setidaknya ada dua persoalan: adanya lebih dari satu data sasaran bansos yang membuat pemberian bansos sporadis dan tidak adanya standar penyaluran bansos menjelang pemilu.
Padahal, nominal bansos yang diperoleh masyarakat miskin memiliki konsekuensi yang berbeda di setiap wilayah.
Data-data yang digunakan dalam sasaran perlindungan sosial wajib disatukan, supaya jelas siapa penerima dan apa kebijakan rutinnya.
Pertama, Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) sebagai data dasar penyaluran Program Keluarga Harapan (PKH) dan Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) sesuai Undang-Undang No. 13/2011 Tentang Penanganan Fakir Miskin.
Kedua, Data Pensasaran Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem (P3KE) yang digunakan sebagai data pensasaran penghapusan kemiskinan ekstrem, Penyaluran Cadangan Pangan Pemerintah Untuk Pemberian bantuan Pangan Tahun 2024, serta penyaluran Bantuan Langsung Tunai (BLT) Dana Desa sesuai Instruksi Presiden No. 4/2022 dan Kepmenko PMK No. 30/2022 Tentang Penetapan Sumber dan Jenis Data dalam Upaya Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem.
Sementara, jika masih ada data sasaran lainnya, perlu dipastikan dasar hukumnya supaya penyaluran bansos tidak dianggap sporadis.
Selanjutnya, data-data ini perlu dimutakhirkan bersama, supaya ada kepastian graduasi bagi keluarga penerima yang sudah sejahtera dan kalibrasi pemeringkatan kesejahteraan terutama bagi keluarga yang jatuh ke jurang kemiskinan supaya mendapatkan bantuan.
Karena, dinamika kesejahteraan sangat fluktuatif, bahkan perbedaan harian saja, potensi perubahan kesejahteraan cukup tinggi, apalagi pada masa pemulihan ekonomi seperti sekarang ini.
Jika ada data sasaran di luar data-data tersebut, maka isu politisasi bansos tetap akan mengemuka.
Tambah lagi, anggaran bansos dan perlinsos yang digunakan juga terserak di berbagai kementerian. Sehingga perlu standarisasi untuk dijadikan acuan, jika terjadi sidang PHPU kembali.
Bansos tetap bergulir siapapun kepala pemerintahan terpilih nantinya, sehingga kegiatan publisitas penyaluran bansos bermakna ganda sebaiknya disudahi.
Sehingga, pemerintah tidak perlu lagi membuat acara publisitas atau seremoni, yang berpotensi memunculkan kecurigaan publik bahwa bansos dipolitisasi.
Sementara, banyaknya kajian publik tentang peningkatan bansos setiap menjelang elektoral telah menjadi data statistik yang tidak bisa dihapus dari sejarah.