MENDEKATI Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, beberapa hari terakhir ada dua arus politik yang menarik perhatian. Saya menyebut arus pertama “politik bansos (bantuan sosial)” dan arus kedua “politik akal sehat”.
Politik bansos merujuk pada kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menggelontorkan dana bansos dengan nilai fantastis menjelang Pilpres 2024, yakni Rp 496 triliun.
Dikabarkan sejumlah media, jumlah dana bansos yang hendak digelontorkan itu lebih tinggi dibanding masa pandemi Covid-19 tahun 2021 (Rp 468,2 triliun) dan 2022 (Rp 460,6 triliun).
Saya menyebutnya politik bansos, karena beberapa hal. Pertama, konteks waktu. Bansos diberikan kepada rakyat yang menjadi kelompok sasaran bertepatan dengan waktu menjelang Pilpres 2024.
Tak ada yang salah dengan bansos. Apalagi bila alasan-alasan pemberian bansos masuk akal, misalnya melindungi ketahanan ekonomi rakyat kecil dari dampak pandemi.
Namun, tak masuk akal bila dilihat dari subjektif penerima. Bila penerima ditanya, mereka pasti sangat membutuhkan bansos dan senang dengan pemberian bansos yang diperpanjang waktunya.
Namun, pemberian bansos yang bersamaan dengan pilpres sulit menghindar dari tafsir politis atas pemberian tersebut. Konteks waktu menentukan pemaknaan. Bak bahasa, kapan kata-kata dituturkan berpengaruh terhadap makna.
Muncullah tafsir bahwa pemberian bansos bukan lagi untuk meringankan beban si penerima bansos. Bansos diberikan untuk kepentingan politik elektoral.
Sebagaimana kata Marcel Mauss, tak ada pemberian yang cuma-cuma, alias gratis. Segala bentuk pemberian selalu berharap pemberian kembali (imbalan).
Dalam konteks politik bansos, imbalan itu berupa dukungan politik elektoral. Boleh jadi memang tak ada bahasa verbal tentang permintaan dukungan politik elektoral. Namun, konteks waktu akan memberikan makna bansos semacam itu.
Kedua, konteks pelaku. Bansos dibagi-bagikan sendiri oleh Presiden Jokowi dan sejumlah menteri yang punya afiliasi politik kepada pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) nomor urut 2, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.
Justru menteri urusan bansos, Menteri Sosial Tri Rismaharini, politisi PDI-P, tak muncul. Terkesan urusan pembagian bansos yang sangat teknis benar-benar ditangani sendiri oleh Presiden Jokowi.
Kita tahu bahwa Gibran adalah putra sulung Jokowi. Konteks pelaku turut menentukan makna. Bak bahasa pula, siapa yang bicara turut membentuk makna.
Seorang presiden minta tolong kepada seorang menteri, misalnya, akan dimaknai perintah oleh sang menteri.
Ketika pelaku pemberian bansos itu adalah Jokowi sendiri, dan peristiwa tersebut diulang-ulang di berbagai tempat saat kunjungan ke daerah-daerah, lalu ”diulang-ulang” lagi dalam bentuk gambar hidup (video) di media sosial, makna yang tertanam di benak penerima bansos kurang lebih adalah ‘Jokowi merupakan presiden yang baik’.