“Revolusi kita masih terus berjalan, dan bukan saja berjalan, tetapi harus bertumbuh, dalam arti pengluasan, bertumbuh dalam arti pemekaran konsepsi-konsepsi, sesuai dengan tuntutan zaman, sesuai dengan tuntutan Amanat Penderitaan Rakyat….” (Soekarno, 17/08/1964).
JUDUL esai yang saya tulis setelah beberapa hari menghirup udara awal 2024 ini terinspirasi oleh pidato Bung Karno pada 17 Agustus 1964. Pidato peringatan Hari Kemerdekaan RI ke-19 itu berjudul “Tahun Vivere Pericoloso”. Populer pula disebut “Tavip”, singkatan judul tersebut.
Saya kutip pula pernyataan di pidato tersebut untuk membuka esai ini. Saya hendak menarik benang merahnya, sekaligus merefleksikannya untuk membaca 2024.
Frasa “vivere pericoloso” (bahasa Italia) dapat diartikan ‘hidup penuh bahaya’ atau ‘hidup menyerempet bahaya’. Frasa tersebut digunakan oleh Bung Karno untuk menjelaskan suatu proses pada tahapan tertentu yang dilalui oleh negara Indonesia.
Bung Karno menegaskan bahwa proklamasi kemerdekaan Indonesia bukanlah kejadian konstitusional, melainkan tindakan revolusioner. Mau tak mau, Indonesia akan melewati proses atau fase “dalam bahaya”.
Pasalnya, menurut Bung Karno, tak pernah suatu kelas melepaskan kedudukannya yang berlebih dengan sukarela. Bahaya atau ancaman, bisa datang dari segala penjuru. Bisa dari dalam sendiri-bangsa sendiri, pun dari luar-bangsa lain.
Melalui pidato tersebut, Bung Karno meyakinkan bahwa Revolusi Indonesia mestilah terus bergerak ke depan. Tak boleh berhenti, atau dianggap selesai.
Revolusi Indonesia bukan sekadar mengusir Pemerintah Belanda, melainkan berproses lebih jauh lagi menuju dunia baru tanpa eksploitasi manusia oleh manusia (exploitation de l'homme par l'homme) dan ekspoitasi bangsa oleh bangsa (exploitation de nation par nation).
Secara sistematis dan utuh pandangan tersebut dikemukakan Bung Karno pada sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK), 1 Juni 1945. Pandangan tersebut diberi nama Pancasila.
Namun, proses perwujudannya tentu saja tak akan mulus. Banyak rintangan, ancaman, yang membuat situasi dalam bahaya. Prosesnya akan pasang-naik dan pasang-surut. Kata Bung Karno, “Gelora samudera tidak berhenti, gelora samudera berjalan terus!"
Dan, sejarah Indonesia membuktikan. Pergulatan kepentingan dan kekuasaan sejak Indonesia merdeka membuahkan jatuh-bangun pemerintahan, bahkan pemberontakan bersenjata.
Dialektika antara idea politik dan realisme politik tak jarang berlangsung sengit, bahkan mengarah pada disintegrasi bangsa.
Secara normatif, konstruksi Indonesia memang telah ditetapkan oleh para pendiri bangsa. Penetapan itu melalui pergulatan intensif yang merefleksikan pengalaman dan pemahaman mendalam para pendiri bangsa tentang sejarah, apa yang sedang terjadi, dan apa yang diharapkan.
Maka, Indonesia ditetapkan bukan sebagai negara kekuasaan, bukan pula negara agama, melainkan negara hukum berdasarkan Pancasila.
Di atas dasar Pancasila itulah hukum disusun sebagai instrumen menjalankan kekuasaan. Melalui hukum yang berdasarkan Pancasila itulah Indonesia ditata, dibangun. Tentu saja prosesnya tak pernah berhenti. Maka, jelas dan tegas ke arah mana Indonesia harus berlayar.