Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Andang Subaharianto
Dosen

Antropolog, dosen di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember, Rektor UNTAG Banyuwangi, Sekjen PERTINASIA (Perkumpulan Perguruan Tinggi Nasionalis Indonesia)

Luka Megawati: Dari Soeharto ke Jokowi

Kompas.com - 26/10/2023, 12:57 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BERDASAR dokumen yang pernah saya baca, Pukul 07.00 WIB, 21 Juni 1970, dokter yang menangani Bung Karno keluar ruangan tanpa bicara. Hanya menggelengkan kepala.

Putra-putri Soekarno bergegas masuk ruangan. Di pembaringan sang ayah tergolek lemah. Megawati Soekarnoputri mendekat, membisikkan kalimat syahadat. Tapi, hanya satu kata yang terucap lirih: “Allah”.

Soekarno, pejuang kemerdekaan dan proklamator, yang sebagian besar hidupnya dipersembahkan untuk mengantarkan kemerdekaan bangsa Indonesia, menghembuskan napas terakhir.

Setelah melewati hari-hari terakhir yang sangat berat dan memilukan. Hari-hari terakhir yang ironis antara yang telah diberikan kepada bangsanya dan yang diterima dari bangsanya.

Bung Karno diperlakukan sebagai tahanan politik oleh Soeharto. Diasingkan dari keluarga, kawan, dan bangsa yang dicintainya.

Dituduh macam-macam oleh penguasa sehubungan dengan pergolakan politik dekade 1960-an tanpa pembuktian di pengadilan. Soekarno dimatikan aspek sosio-politik-kultural oleh penguasa Orde Baru sebelum akhirnya dipanggil Tuhan.

Bahkan, sekadar memenuhi wasiat Sang Proklamator pun tak diizinkan. Wasiat Bung Karno untuk dimakamkan di Bogor ditolak Soeharto. Sehari setelah Bung Karno dinyatakan wafat, jasadnya dikirim ke Blitar.

Itulah “luka” pertama Megawati Soekarnoputri. Yang teramat dalam. Yang membuncahkan segudang pertanyaan. Luka bukan sembarang luka. Saya yakin, luka pertama itu menjadi titik lenting Megawati hingga posisinya hari ini.

Soal kalah-menang dalam politik adalah soal biasa. Politik adalah permainan. Ujung dari politik adalah siapa yang menang akan berkuasa.

Siapa yang kalah akan berada di luar kekuasaan. Saya percaya, kalau soal itu, Megawati sangat mengerti dan menerima kekalahan sang ayah.

Namun, siapa pun dalam posisi Megawati akan terluka parah. Benarkah politik dan kekuasaan itu gelap, tak ada cahaya sedikit pun yang bisa memantulkan kemanusiaan dan moralitas?

Apakah untuk menang dalam politik dan kekuasaan boleh culas, boleh menerabas dimensi keadaban? Mengapa politik dan kekuasaan harus meninggalkan akal sehat dan membunuh rasa kemanusiaan?

Tentu masih banyak pertanyaan menyasar kalbu dan pikiran sehat. Saya percaya, Megawati mengawali lentingannya bukan hanya mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu, tapi sekaligus mengajarkan kepada generasi pemimpin masa depan Indonesia.

Megawati tentu tak akan lupa ajaran Bung Karno tentang “jasmerah”, jangan sekali-kali meninggalkan sejarah. Bung Karno juga mengajarkan tentang “sosio-nasionalisme” kepada putra-putrinya dan rakyat Indonesia pada umumnya.

Sejarah adalah politik masa lalu. Dari sejarah kita tahu dinamika, seluk-beluk, dan siasat-siasat perebutan kekuasaan. Dari sejarah pula kita bisa tahu, lalu berharap dan bisa memilih cara-cara yang progresif, beradab dan berakal sehat.

Sementara itu, sosio-nasionalisme mengajarkan bahwa nafsu nasionalisme, bisa pula primordialisme (suku, agama, golongan, termasuk pula kekerabatan), punya kecenderungan menjajah pihak lain (the others).

Sejarah penjajahan bangsa-bangsa di abad ke-19 dan ke-20 sejatinya adalah sejarah pembiaran nafsu nasionalisme/primordialisme.

Dari sejarah penjajahan itu pula Bung Karno mengajarkan, kelak Indonesia merdeka tidak boleh membiarkan nafsu nasionalisme yang menjajah.

Nasionalisme harus dikendalikan oleh perikemanusiaan, nasionalisme yang berperikemanusiaan, yang tak menjajah. Sebaliknya mengasihi dan melindungi pihak lain. Itulah sosio-nasionalisme.

Itulah sebabnya pendiri bangsa, Soekarno dan kawan-kawan, memilih pengelolaan kekuasaan dengan sistem demokrasi, bukan monarki, bukan pula oligarki.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 31 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 31 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Pertimbangan Hakim Tipikor Kabulkan Eksepsi Gazalba Dinilai Mengada-ada

Pertimbangan Hakim Tipikor Kabulkan Eksepsi Gazalba Dinilai Mengada-ada

Nasional
Ceritakan Operasi Ambil Alih Saham Freeport, Jokowi: Sebentar Lagi 61 Persen

Ceritakan Operasi Ambil Alih Saham Freeport, Jokowi: Sebentar Lagi 61 Persen

Nasional
109.898 Jemaah Calon Haji RI Sudah Tiba di Saudi, 17 Orang Wafat

109.898 Jemaah Calon Haji RI Sudah Tiba di Saudi, 17 Orang Wafat

Nasional
Gaji Karyawan Dipotong untuk Tapera, Jokowi: Semua Sudah Dihitung...

Gaji Karyawan Dipotong untuk Tapera, Jokowi: Semua Sudah Dihitung...

Nasional
Jokowi Bakal Lihat Kemampuan Fiskal untuk Evaluasi Harga BBM pada Juni

Jokowi Bakal Lihat Kemampuan Fiskal untuk Evaluasi Harga BBM pada Juni

Nasional
Kemenag Rilis Aplikasi Kawal Haji, Sarana Berbagi Informasi Jemaah

Kemenag Rilis Aplikasi Kawal Haji, Sarana Berbagi Informasi Jemaah

Nasional
Rakernas PDI-P Banyak Kritik Pemerintah, Jokowi: Itu Internal Partai, Saya Tak Akan Komentar

Rakernas PDI-P Banyak Kritik Pemerintah, Jokowi: Itu Internal Partai, Saya Tak Akan Komentar

Nasional
Kemenag Imbau Jemaah Haji Jaga Pakaian, Perilaku, dan Patuhi Aturan Lokal Saudi

Kemenag Imbau Jemaah Haji Jaga Pakaian, Perilaku, dan Patuhi Aturan Lokal Saudi

Nasional
Polemik RUU Penyiaran, Komisi I DPR Minta Pemerintah Pertimbangkan Masukan Rakyat

Polemik RUU Penyiaran, Komisi I DPR Minta Pemerintah Pertimbangkan Masukan Rakyat

Nasional
Jadi Tuan Rumah Pertemuan Organisasi Petroleum ASEAN, Pertamina Dorong Kolaborasi untuk Ketahanan Energi

Jadi Tuan Rumah Pertemuan Organisasi Petroleum ASEAN, Pertamina Dorong Kolaborasi untuk Ketahanan Energi

Nasional
Di Hadapan Jokowi, Kapolri Pilih Umbar Senyum Saat Ditanya Dugaan Penguntitan Jampidsus

Di Hadapan Jokowi, Kapolri Pilih Umbar Senyum Saat Ditanya Dugaan Penguntitan Jampidsus

Nasional
Penerapan SPBE Setjen DPR Diakui, Sekjen Indra: DPR Sudah di Jalur Benar

Penerapan SPBE Setjen DPR Diakui, Sekjen Indra: DPR Sudah di Jalur Benar

Nasional
Soal Dugaan Jampidsus Dibuntuti Densus 88, Komisi III DPR Minta Kejagung dan Polri Duduk Bersama

Soal Dugaan Jampidsus Dibuntuti Densus 88, Komisi III DPR Minta Kejagung dan Polri Duduk Bersama

Nasional
Ketum PBNU Minta GP Ansor Belajar dari Jokowi

Ketum PBNU Minta GP Ansor Belajar dari Jokowi

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com