JAKARTA, KOMPAS.com - Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memperbolehkan kampanye di fasilitas pendidikan dengan sejumlah syarat membuka kran mobilisasi politik ke kelas-kelas.
Selain itu, kebijakan ini dianggap bakal menimbulkan dampak ikutan yang berpengaruh terhadap psikologi murid dan tenaga pendidik.
"Bayangkan ada pemilu dan pilkada yang akan dihadapi. Sekolah akan sibuk menjadi arena pertarungan politik praktis. Sekolah, guru, siswa, dan ortu akan membawa politik partisan ke ruang ruang belajar," kata Kepala Bidang Advokasi P2G, Iman Zanatul Haeri, kepada Kompas.com pada Selasa (22/8/2023).
"Siswa, guru, dan warga sekolah akan sangat rentan dimobilisasi sebagai tim kampanye atau tim sukses para kandidat. Ini bukan pendidikan politik melainkan mobilisasi politik yang akan berdampak buruk," lanjut dia.
Baca juga: MK Izinkan Kampanye di Fasilitas Pemerintah dan Sekolah/Kampus Tanpa Atribut
Penjelasan MK bahwa pemakaian sekolah untuk kampanye diperbolehkan sepanjang tak menggunakan atribut serta telah mendapatkan izin dari penanggung jawab tempat dianggap sebagai penjelasan yang bermasalah.
Kepala sekolah dinilai akan sangat sulit menolak penggunaan gedung sekolah untuk kampanye, terlebih jika ia diperintahkan secara struktural dari pemerintah daerah dan dinas pendidikan.
"Apalagi jika pimpinan struktural di sekolah atau daerah sudah punya preferensi politik tertentu," ujar Iman.
"Ini seperti anggaran pendidikan dituntut mensubsidi Pemilu yang juga sudah ada anggarannya. Karena sudah pasti setiap kerusakan akan ditanggung sekolah (anggaran pendidikan)," ujar dia.
Baca juga: Kekhawatiran Usai MK Bolehkan Kampanye di Sekolah dan Fasilitas Pemerintah
P2G juga khawatir putusan MK ini akan membahayakan kepentingan siswa, guru, dan orangtua dan menjadi beban dalam praktik pembelajaran di sekolah.
Kegiatan sekolah akan bertambah, seperti sosialisasi pemilu atau sosialisasi kandidat, yang diprediksi akan menjadi beban psikologi bagi anak dan guru.
Dia melanjutkan bahwa aktivitas pedagogi akan didistorsi menjadi aktivitas saling berebut politik kekuasaan.
"Kondisi demikian juga membuat rentan terjadinya bullying di sekolah, saat sekolah jadi ruang kampanye pemilu," ucap Iman.
"Sebagai contoh, siswa yang pilihan politiknya berbeda dari pilihan mayoritas murid lain, rentan akan dirundung oleh teman-temannya, apalagi jika materi kampanye kandidat atau parpol sudah mengarah pada isu politik identitas," imbuhnya.
Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja menganggap bahwa revisi itu diperlukan untuk mengatur lebih terperinci ketentuan kampanye itu. Sebab, MK tidak memerinci hal tersebut dalam putusannya.
"Jadi yang harus diatur misalnya fasilitas pemerintah seperti apa, apakah fasilitas pemerintah itu termasuk gedung pemerintahan seperti Istana Negara dan Balai Kota," ujar Bagja pada Jumat (18/8/2023).