"Belakangan saya tahu yang dimaksud Pak Lurah ternyata saya. Iya, saya jawab saja, saya bukan lurah, saya adalah presiden Republik Indonesia."
BEGITU kata Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat pidato sidang tahunan MPR, 16 Agustus 2023 (Kompas.com, 16/08/2023).
Sebutan “Pak Lurah” untuk Jokowi mendadak terkenal. Semula sebutan inisial itu hanya sayup-sayup di kalangan elite politik. Kini telah viral.
Publik pun akhirnya tahu bahwa ada “konvensi” (bahasa memang konvensi) sebutan “Pak Lurah” untuk Jokowi di kalangan elite politik.
Boleh jadi perasaan Jokowi campur aduk menghadapi dinamika politik mutakhir. Terutama kesan saling berebut tuah Jokowi oleh sejumlah partai politik dan bakal calon presiden (bacapres) tertentu.
Jokowi selalu dibawa-bawa dengan sebutan "Pak Lurah". Ia lalu memilih mengklarifikasi melalui pidato sidang tahunan MPR.
Karena klarifikasi itu kini sebutan “Pak Lurah” untuk Jokowi boleh jadi kian meluas. Bukan hanya di kalangan elite dan bersifat samar, perbincangan publik kelas warung kopi pun bisa ikut-ikutan.
Saya tidak melihat hal aneh yang bermakna negatif. Dalam konteks perpolitikan nasional sangat wajar para pelaku politik, jurnalis, pengamat, konsultan politik, bahkan kalangan awam, selalu melihat tindakan, kata-kata, dan bahasa tubuh Jokowi.
Ia presiden dua periode, yang persentase kepuasan publik terhadap kepemimpinannya sangat tinggi.
Para pelaku politik, jurnalis, pengamat, konsultan politik, bahkan kalangan awam, lalu menafsirkan tindakan, kata-kata, dan bahasa tubuh Jokowi.
Mereka akan membacanya melalui analisis canggih dengan data yang akurat serta lengkap, atau sekadar “otak-atik gathuk”, model analisis serampangan ala awam dengan data seadanya yang dicocok-cocokkan.
Sebutan “Pak Lurah”, di mata saya, makin menarik dibaca dan mendapatkan penegasan makna saat upacara Peringatan Hari Ulang Tahun ke-78 Kemerdekaan RI, Kamis, 17 Agustus 2023.
Saat itu Presiden Jokowi mengenakan baju adat Ageman Songkok Singkepan Ageng yang biasa dipakai oleh para raja Pakubuwono, Surakarta.
Boleh jadi kebetulan saja. Namun, saya melihat hubungan intertekstualitas keduanya yang tidak kebetulan.
Lurah dan raja dalam pandangan budaya Jawa memiliki kemiripan sifat yang diidam-idamkan (diidealkan). Keduanya pemimpin teritori tertentu. Beda zaman, tapi sama-sama disegani, dihormati, karena sifat-sifat ideal yang melekat pada lurah dan raja.