JANGAN membuang muka dari penguasa, nanti kena batunya. Karena bukan itu yang mereka butuhkan. Mereka butuh dikagumi. Mereka butuh ditepuktangani. Mereka butuh dikontroversikan. Bukan dikritik.
Bahkan penguasa tidak hanya alergi dikritik, tapi juga butuh digembar-gemborkan. Mengapa?
Karena penguasa hidup dengan semua simbol-simbol itu. Mereka bisa besar karena itu semua. Tak lain, karena kekaguman, karena tepuk tangan, karena kontroversi, dan karena digembar-gemborkan.
Ibarat dewa-dewa dalam mitologi Yunani, mereka perlu dicintai untuk tetap menjadi seorang dewa. Mereka perlu ditakuti untuk tetap menyandang status sebagai dewa.
Memang demikianlah kekuasaan. Kekuasaan sebagai dewa, kekuasaan sebagai penguasa dan pemimpin, kekuasaan sebagai pemangku otoritas ilahi, dan lain-lain, semuanya perlu pengakuan dalam bentuk-bentuknya yang nyata.
Dikagumi, dipuja-puji, digemari, jadi topik pembicaraan di mana-mana, digembar-gemborkan, dibesar-besarkan, dikontroversikan, dan sejenisnya, begitulah adanya.
Memang begitulah kekuasaan biasanya dipelihara dari waktu ke waktu, bahkan untuk jangka waktu lama.
Jika sudah tidak ditakuti lagi, tak dikagumi lagi, maka itu pertanda mulai pudarlah kekuasaan tersebut.
Karena itulah penguasa alergi dengan kritik. Penguasa takut tak dianggap berkuasa lagi. Jika itu terjadi, maka perlu pembuktian-pembuktian baru agar memunculkan bentuk-bentuk pemujaan baru.
Dalam sejarah raja-raja lama, jika alam sudah mulai tak bersahabat, maka pertanda raja tak mendapat kepercayaan lagi dari ilahi.
Raja dianggap sudah tak mampu menjaga stabilitas alam dan dianggap tak mampu melindungi rakyat dari murka alam. Itu dianggap tanda-tanda kejatuhan, tanda-tanda kuasa raja tidak lagi mendapat izin dari pihak penguasa langit.
Ya, begitulah kekuasaan dimaknai dalam konteks tertentu. Dalam ilmu politik, sarjana-sarjana sering mengutip Robert A. Dahl, seorang Profesor Politik untuk memahami apa itu kekuasaan.
Dahl mendefinisikan kekuasaan sebagai kemampuan seseorang atau institusi untuk memengaruhi seseorang atau sekelompok orang agar melakukan sesuatu secara sukarela sesuai yang dikehendaki.
Semisal, si A memiliki kekuasaan terhadap si B. Sehingga si A berkemampuan untuk memengaruhi si B agar berbuat sesuatu sesuai kepentingan dan keinginan si A dengan sukarela.
Sementara otoritas bergerak dalam logika yang sama, tapi diperlengkapi dengan kekuatan untuk memaksa (coercive).
Oleh karena itu, pemerintah dianggap pemegang otoritas atau wewenang karena pemerintah mempunyai alat dan organisasi untuk memaksakan keinginannya.
Dalam kajian ilmu politik tradisional, kekuasaan adalah episentrum kajian. Ilmu politik didefinisikan sebagai ilmu yang mengulik segala sesuatu yang berkaitan dengan kekuasaan.
Mulai dari penguasa formal atau semua institusi pemerintah di semua level, sampai pada organisasi dan aktor-aktor masyarakat yang memiliki pengaruh dalam tatanan kenegaraan.
Sumber-sumber kekuasaan bisa berasal dari berbagai hal, mulai dari otoritas (dijamin oleh hukum dan perundang-undangan yang ada), adat-istiadat, agama, uang atau kekayaan, ilmu pengetahuan, pengalaman, dan banyak lagi.