JELANG peringatan 78 tahun proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, sejatinya ada banyak tuntutan maupun gugatan yang dapat diajukan dalam melihat realitas berbangsa dan bernegara hari ini.
Apa yang belakangan ini mengemuka di berbagai daerah, terutama di kawasan timur Indonesia menunjukan adanya kekecewaan politik yang mesti dikelola dengan lebih arif dan responsif.
Perspektif berkebangsaan di setiap kepala generasi hari ini mesti dapat disikapi dengan proporsional dan objektif. Karena semua yang terjadi tidak dengan serta-merta, namun lahir dan tumbuh dari berbagai anomali serta ketimpangan yang terus terjadi.
Sehingga memaksa situasi seolah-olah ada pada posisi normal atau on the right track, apalagi dengan cara menindas, menggunakan kekerasan, dipenuhi praktik ketidakadilan dan diskriminasi serta minus kepekaan sosial, harus segera dihentikan.
Formula baru harus dirumuskan dengan memahami situasi politik terkini, seperti gerakan perlawanan politik bersenjata di Papua, maupun ekspresi kekecewaan politik dari sejumlah daerah. Semua harus bisa dibaca sebagai interupsi level tinggi.
Pasti ada yang kurang tepat dalam pengelolaan negara selama dan sejauh ini. Kesempatan emas sejak pascaproklamasi, hingga tiba pada fase seperempat abad terakhir jelang satu abad, faktanya belum dimanfaatkan secara baik dan optimal.
Ini tentu bukan satu kondisi yang menguntungkan dan jauh dari harapan dan cita-cita funding fathers atau para pendiri bangsa. Tentu dalam menyikapinya perlu terobosan dan upaya ekstra.
Itu sebabnya, untuk memastikan serta menjamin adanya distribusi keadilan dan memastikan integrasi atau persatuan nasional dalam rentang waktu yang panjang, maka negara harus inklusif.
Yakni menempatkan negara ke dalam cara pandang orang atau kelompok (lain) yang berbeda dalam melihat dunia atau satu realitas. Negara mesti berusaha menggunakan sudut pandang orang atau kelompok lain dalam memahami masalah kekinian.
Itu artinya, cara pandang atau perspektif yang sejauh ini mewakili aspirasi politik dan kepentingan ekonomi masyarakat (daerah) yang sejauh ini cenderung termarjinalkan atau merasa diperlakukan kurang adil, harus ditanggapi dengan sikap inklusif oleh negara.
Perspektif dikemukakan di atas meminjam Daron Acemoglu dan James Robinson yang diungkap dalam buku berjudul Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity, and Poverty (2012).
Menurut mereka, kegagalan bangsa menjadi maju dan berkembang karena absennya sistem ekonomi-politik yang inklusif. Tanpa inklusivisme, mustahil bangsa beradaptasi, berinovasi menuju masyarakat yang egaliter.
Dengan demikian, negara dan pemerintah harus lebih cermat membaca situasi dan keinginan ekonomi-politik yang berkembang di masyarakat, tidak saja akibat perubahan global, namun juga terkait dengan akumulasi dari kegagalan negara selama ini.
Responsif melalui atau dengan cara yang lebih inklusif akan dapat mencegah reaksi publik yang kecewa menjadi berlebihan, hingga destruktif atau berujung pada konflik, vertikal maupun horisontal.
Sekalipun dalam konteks ini, yaitu inklusif dengan memahami kepentingan dan kebutuhan daerah terutama di kawasan timur yang tertinggal memang sulit teraktualisasi atau dirumuskan dalam keadaan negara dipasung oleh oligarki.