JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar dan epidemiolog dari Universitas Indonesia Pandu Riono mengkritisi pihak-pihak yang menolak Undang-undang (UU) Kesehatan dan meminta pembahasannya dihentikan.
Sebab dengan menolak, artinya pihak tersebut tidak mau berkomunikasi, memberikan kontribusi, dan memberikan saran.
"Kalau menolak itu artinya tidak mau berkomunikasi, memberikan kontribusi, memberikan saran, karena semuanya ditolak, dianggap enggak benar. Kan itu suatu kesalahan menurut saya dari teman-teman saya di IDI," kata Pandu dalam konferensi pers secara daring, Sabtu (15/7/2023).
Menurut Pandu, pembahasan UU Kesehatan sudah sesuai dengan aturan perundang-undangan.
Baca juga: Pakar Minta Penolak UU Kesehatan Fokus ke Aturan Turunan, Jangan Kontraproduktif
"Saya kira di dalam aturan pembuatan pembuatan UU ada semua. Jadi kalau disebut cacat prosedur, enggak, enggak cacat. Tapi keterbukaan, ada keterbukaan. Yang salah adalah yang mengatakan menolak," tutur Pandu.
Ia pun mengapresiasi langkah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI karena berani menginisiasi RUU Kesehatan untuk dibahas dan disahkan kemudian.
Pasalnya di awal pandemi, Pandu menyaksikan pemerintah mengalami kesulitan dan kebingungan menetapkan kebijakan karena banyak produk hukum yang tumpang tindih.
Pandu mengaku kerap diundang DPR RI pada tahun 2020 untuk memberikan masukan. Dia pula yang menyarankan agar UU perlu diubah.
Diketahui, UU Kesehatan mencabut 9 UU terkait kesehatan dan mengubah 4 UU Terkait. Sembilan undang-undang itu adalah UU Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Menular, UU 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, dan UU 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Baca juga: Peluang Uji Materi Omnibus Law UU Kesehatan
Lalu, UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, UU Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa, UU Nomor 36 Tahun 2004 tentang Tenaga Kesehatan, UU Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan, UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, dan UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Kebidanan.
"Jadi keterlibatan itu penting. Jangan kemudian menyatakan tidak, enggak bisa," ucap Pandu.
Lebih lanjut Pandu meminta pihak yang menolak UU Kesehatan memindahkan fokus kepada pembuatan aturan turunannya.
Sebab, aturan turunan yang lebih teknis justru lebih penting untuk mewujudkan pelayanan kesehatan yang sesuai dengan harapan. Aturan turunan yang akan menentukan program-program baik di bidang kesehatan berjalan atau sebaliknya.
"Tergantung PP-nya, tergantung turunan Permenkes. Dan nanti bagaimana masalah implementasinya. Jadi jalan masih panjang untuk kita mewujudkan supaya pelayanan kesehatan kita sesuai dengan harapan bersama. Ini menurut saya kompleks betul," jelas Pandu.
Baca juga: UU Kesehatan Masih Ditolak Organisasi Profesi, Moeldoko: Setiap UU Ada Riak
Sebagai informasi, DPR RI telah mengesahkan UU Kesehatan pada Selasa (11/7/2023). Pengesahan itu diwarnai dengan aksi unjuk rasa organisasi profesi di depan kompleks parlemen di wilayah Senayan, Jakarta Pusat, itu.
Diketahui, mereka menolak RUU yang baru disahkan menjadi UU tersebut.
Terbaru, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan empat organisasi profesi lainnya bakal mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka merasa UU belum memenuhi unsur partisipasi yang bermakna (meaningful participation).
Hal ini mengacu pada Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 91 Tahun 2020 tentang partisipasi publik bermakna. Dalam beleid tersebut, ada tiga prasyarat pelibatan masyarakat secara bermakna.
Syarat-syarat itu meliputi hak untuk didengarkan pendapatnya, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya, dan hak untuk mendapat penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.