SALAH satu entitas yang penting dalam negara demokrasi adalah adanya kelas menengah yang mapan. Tidak saja secara ekonomi, tapi juga politik.
Mapan secara ekonomi akan menjadikan kelas ini cenderung lebih rasional dan independen, secara politik membuat kelas ini tetap menjaga akal sehat dan bersikap kritis terhadap realitas sosiol-politik.
Kelas menengah boleh dikata adalah aktor penting bagi berjalannya satu negara demokrasi. Keberadaan kelas ini turut memastikan tertib politik dan aktualisasi keadilan distributif.
Posisinya krusial, sebagai katalisator, karena adalah kelas yang berada di antara kelas pekerja, termasuk grassroot, dengan kelas pemilik kapital dan elite politik pengambil atau pembuat kebijakan publik.
Meminjam kategori Richard Robison (1993), dalam struktur politik orde baru, kelas menengah terdiri dari kalangan intelektual, teknokrat, manajer profesional, pengacara, aktivis partai politik, aktivis mahasiswa, dan pengusaha menengah kebawah.
Sedangkan Michael Weigh dalam artikelnya “Six Point in Class”, memetakan kelas menengah sebagai kelas yang berada di antara kelas penguasa (The Ruling Class), yaitu mereka yang memiliki petunjuk kepada bangsa secara keseluruhan baik dalam konteks lokal maupun nasional, dengan kelas pekerja (The Working Class), yaitu kelas yang memiliki kekuasaan relatif terbatas hanya di tempat kerjanya.
Keberadaan kelas menengah dalam memengaruhi proses perubahan sosial dan politik pun tercatat dalam sejarah, baik itu di dalam maupun di luar negeri.
Seperti sejarah revolusi di Perancis yang diawali dengan revolusi industri dan menandai perubahan sosial secara luas pada masyarakat Eropa, adalah dimotori oleh kelas menengah tercerahkan.
Begitu pula dengan revolusi di Iran yang berhasil mengubah negara itu dari Monarki di bawah Shah Reza Pahlavi, menjadi Republik Islam juga digawangi oleh kelas menengah, kaum intelektual. Pun dalam berbagai perubahan sosial di belahan dunia lainnya.
Sejarah Indonesia juga memperlihatkan pentingnya kelas menengah, mulai dari era kemerdekaan, transisi orde lama ke orde baru, hingga gerakan reformasi yang mengusung semangat demokrasi dan keterbukaan, semua terjadi atas peran kelas menengah yang memiliki kesadaran politik.
Dalam berbagai peristiwa dan momentum perubahan menunjukan kesadaran kolektif kelas menengah sosial mampu mendorong dan menggerakan perubahan, dari kondisi yang kurang adil atau tidak menguntungkan, menjadi tatanan yang lebih baik.
Demikian strategis-nya, tentu dan sudah semestinya kelas menengah di setiap situasi dan periode sejarah menunjukan peran pentingnya dalam mengupayakan perubahan bagi perbaikan kehidupan masyarakat.
Gagalnya kelas menengah menjadi ‘jembatan’ dalam memperjuangkan kepentingan masyarakat maupun agen bagi dilakukannya sosialisasi dan pendidikan politik secara luas, berdampak signifikan bagi keberlangsungan proses demokrasi.
Lantas, bagaimana dengan kelas menengah negeri ini, terutama saat proses konsolidasi demokrasi tengah berlangsung seperti jelang pemilihan umum (legislatif-eksekutif)?
Pertanyaan yang memang tidak mudah untuk dijawab. Namun jika melihat kondisi faktual, kelas menengah kita sebagai aktor politik memang fluktuatif, saat ini tak begitu menonjol perannya, bahkan terlihat ambigu, banyak yang lebih memilih untuk menempel atau mengabdi pada kekuasaan dan pemilik modal.