PEMIMPIN tidak bisa ujug-ujug datang, lantas dipilih. Tidak bisa pula diduplikat ataupun dipesan –bimsalam bim jadi pemimpin.
Namun dalam kesimpulan sejarah modern Indonesia, pemimpin dapat dikenali asalnya –dari rakyat. Ini yang diberitahukan pemimpin besar Republik Indonesia, Bung Karno: “Janganlah kita lupakan demi tujuan kita, bahwa para pemimpin berasal dari rakyat dan bukan berada di atas rakyat (Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat, hlm 69).
Amanat Bung Karno itu sangat relevan untuk diimplementasikan (memilih) pemimpin-pemimpin masa kini. Terlebih akhir-akhir ini tensi politik menghangat sehubungan dengan konstelasi dinamika tahun politik, maka memilih pemimpin tidak boleh serampangan.
Bersama ini harus juga dipahami bahwa tahun politik menuju Pemilu 2024, jualan “demi” rakyat dan atas nama rakyat begitu membahana agar dipilih menjadi pemimpin.
Jadinya dinamika politik dari sini demikian meningkat tensinya, terasa lebih panas, karena masing-masing mengklaim pihaknya yang pantas menjadi pemimpin karena berasal dari rakyat dan berada di atas rakyat.
Gairah politik ini karuan saja tak kunjung susut. Dalam skala tensi memanas demikian, boleh jadi, bisa diartikan sebagai bagian dari berdemokrasi.
Tentu saja demokrasi yang kita anut tidak mengumbar sebebas-bebasnya perbedaan pendapat dan pemikiran, tidak pula semau-maunya mengklaim menjadi pemimpin.
Walau tidak bisa dinafikan begitu saja bahwa demokrasi yang dianut bangsa ini berpeluang memanaskan tensi politik. Namun sepanas-panasnya politik, dalam kepribadian demokrasi Indonesia, tetap mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa.
Hal itu pula yang dikobarkan Bung Karno dalam Pancasila sebagai dasar negara bahwa “Demokrasi kita harus kita jalankan adalah Demokrasi Indonesia, membawa kepribadian Indonesia (hal.105),” menjadi aktual untuk diimplentasikan.
Dalam kepribadian demokrasi Indonesia bahwa pemimpin berasal dari rakyat, dan bukan berada di atas rakyat, menandakan pula bahwa pemimpin yang hendak dipilih bukan datang dari sebuah kemasyuran.
Oleh karenanya dalam pidato HUT Proklamasi RI Tahun 1963, Bung Karno mengingatkan bahwa: kita pemimpin-pemimpin Indonesia, tidak boleh berhenti, tidak boleh duduk diam tersenyum simpul di atas damparnya kemasyhuran dan damparnya jasa-jasa di masa lampau. Kita tidak boleh "teren op oud roem", tidak boleh hidup dari kemasyhuran yang lewat, oleh karena jika kita "teren op oud roem" kita nanti akan menjadi satu Bangsa yang "ngglenggem" satu bangsa yang gila kemuktian, satu bangsa yang berkarat.
Itu juga yang dalam bahasa gamblang disampaikan oleh pemimpin besar Afrika Selatan, Nelson Mandela, yang menegaskan bahwa: "Pemimpin yang baik harus siap berkorban untuk memperjuangkan kebebasan rakyatnya."
Dan Mandela, sebagaimana Bung Karno, memperjuangkan kebebasan rakyatnya dari penindasan.
Filsuf dari Yunani, Aristoteles (384 SM - 322 SM), berkata bahwa "Seorang pemimpin yang baik harus terlebih dahulu mau dipimpin."
Maka seorang pemimpin yang baik tahu bahwa ia bukan sekadar memimpin orang lain, melainkan terlebih dahulu memimpin dirinya.