JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mendesak agar Presiden Joko Widodo meminta maaf kepada korban dan penyintas pelanggaran Hak asasi Manusia (HAM) berat masa lalu.
Koordinator Kontras Fatia Maulidiyanti mengatakan, Jokowi perlu meminta maaf karena hingga hari ini korban dan penyintas belum mendapatkan pemenuhan hak atas keadilan.
"Kontras mendesak Presiden meminta maaf terhadap korban, penyintas dan keluarga korban pelanggaran HAM berat di Indonesia atas dampak yang muncul akibat peristiwa yang terjadi serta dari pengabaian pemenuhan atas keadilan dan hak lainnya sampai hari ini," ujar Fatia dalam keterangan tertulis, Jumat (5/5/2023).
Desakan itu muncul usai Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengatakan pemerintah tak akan meminta maaf kepada para korban.
Baca juga: Temui Moeldoko, Mahasiswa Trisakti Bahas Sejumlah Kasus HAM Masa Lalu
Mahfud mengatakan, pemerintah tidak melakukan itu karena tidak ada dalam rekomendasi yang dibuat oleh tim penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu (TPPHAM) kepada pemerintah.
"Di dalam rekomendasi penyelesaian non yudisial itu tidak ada permintaan maaf dari pemerintah kepada masyarakat karena peristiwa itu. Tetapi pemerintah menyatakan mengakui bahwa peristiwa itu memang terjadi dan pemerintah menyesali terjadinya peristiwa itu," ujar Mahfud di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (2/4/2023).
"Jadi tidak ada permintaan maaf dan tidak ada perubahan status hukum terhadap peristiwa-peristiwa masa lalu. Yaitu misalnya TAP MPRS Nomor 25 Tahun 1966 tetap itu berlaku sebagai ketetapan yang tidak dapat diubah," kata dia.
Selain itu, peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu yang sudah diputuskan oleh pengadilan juga tetap berlaku.
Sehingga, lanjut Mahfud, pemerintah fokus kepada korban pelanggaran HAM berat masa lalu untuk 12 peristiwa.
"Dan peristiwa itu tentu tidak bisa ditambah oleh pemerintah karena menurut undang-undang (UU) menentukan pelanggaran HAM berat atau bukan itu adalah Komnas HAM," ungkapnya.
"Dan Komnas HAM merekomendasikan 12 yang terjadi sejak puluhan tahun yang lalu. Nah saya ingin masyarakat paham perbedaan antara pelanggaran HAM berat dan kejahatan berat," katanya.
Dalam kesempatan itu, Mahfud juga menegaskan bahwa pemerintah tidak mencari pelaku dalam proses penyelesaian non yudisial untuk peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu.
Baca juga: Tak Minta Maaf soal Kasus HAM Berat, Pemerintah Dinilai Setengah Hati
Sebab, pemerintah sudah memutuskan adanya penyelesaian non yudisial yang lebih menitikberatkan kepada korban.
"Jadi ini titik beratnya pada korban, bukan pada pelaku. Kita tidak akan mencari pelakunya dalam penyelesaian non yudisial ini. Karena itu urusan Komnas HAM dan DPR," tuturnya.
Mahfud menjelaskan, apabila menyangkut pelakunya, maka hal itu berkaitan dengan penyelesaian secara yudisial (hukum).