KOMPAS.com - Matahari sudah condong ke barat ketika Pak Ashabul menyiapkan kapalnya di sebuah dermaga kecil di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu.
Usai palka sudah bersih, mesin terpasang, dan solar sudah terisi penuh, pria yang berprofesi sebagai nelayan itu pun melepaskan tali sandar kapalnya di dermaga.
Tuas mesin ditarik, mesin kapal mulai menderum lembut. Sesaat kemudian, dengan perlahan, kapal kayu sepanjang 13 meter (m) itu mulai melaju.
Angin laut cukup kencang siang itu, tetapi Pak Ashabul harus bergegas. Setelah mengeratkan kain sarungnya, ia menarik tuas gas penuh-penuh, dan membawa kapal kayunya menuju dermaga utama Pulau Pramuka.
“Hari itu saya mendapat giliran tugas menjemput dan mengantarkan anak-anak sekolah dari Pulau Pramuka ke Pulau Panggang,” katanya dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Kamis (13/4/2023).
Baca juga: Lowongan PT Pertamina International Shipping, Ini Perinciannya...
Ia menjelaskan bahwa Pulau Panggang tidak memiliki sekolah tingkat lanjutan atas. Untuk bersekolah, para pelajar harus menyeberang ke Pulau Pramuka.
Di salah satu pulau terbesar dan terpadat di Kepulauan Seribu itu, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta telah membangun Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 69 Jakarta pada 1 Januari 1981.
Setidaknya, ada 100 siswa dari Pulau Panggang yang tinggal di asrama SMA 69 di Pulau Pramuka. Setiap Jumat siang, Pak Ashabul menjemput mereka untuk pulang ke Pulau Panggang.
Sementara pada Ahad siang, lelaki itu pun siap mengantarkan mereka para murid kembali ke Pulau Pramuka.
“Supaya besok mereka bisa sekolah lagi,” ujar Pak Ashabul.
Baca juga: Strategi Pertamina Patra Niaga Antisipasi Peningkatan Pemudik via Darat
Para pelajar tampak tersenyum riang saat kapal lelaki paruh baya itu mulai tampak dan kemudian bersandar di dermaga.
Sambil berebut naik ke kapal kecil untuk memilih posisi paling nyaman, anak-anak menyapa Pak Ashabul dengan akrab. Mereka mengaku senang dijemput oleh sang nelayan tua ini.
“Soalnya, Pak Ashabul tak pernah meminta bayaran. Gratis!” kata Putri, siswa Kelas XI SMA Negeri 69 Jakarta.
Pak Ashabul memang tak pernah menarik ongkos dari para pelajar yang diseberangkannya.
Ia merasa bahwa mata pencahariannya sebagai nelayan sudah cukup untuk menghidupi diri dan keluarganya sehari-hari. Apalagi, Pak Ashabul hanya tinggal berdua dengan istrinya, sementara tiga anaknya sudah mandiri.