SUDAH bukan rahasia lagi untuk mendorong perkara cepat diproses oleh aparat hukum maka harus diviralkan terlebih dahulu.
Perkara anak pun sama sehingga banyak kasus yang sengaja diviralkan melalui media massa dan media sosial.
Bahkan tidak jarang pula yang sampai menampilkan identitas, foto, dan latar belakang pelaku anak. Massa seakan tidak peduli lagi bahwa sebenarnya terdapat larangan mempublikasikan jati diri pelaku anak.
Tujuannya tidak jauh dari unsur entertain (hiburan) dan sekaligus menggiring opini untuk menghakimi pelaku anak (trial by press).
Kita dapat menemukan masalah itu pada kasus-kasus yang viral tahun 2023. Pertama kasus jual organ tubuh di Makasar.
Kedua, penganiayaan David Ozora di Jakarta. Ketiga, maraknya klithih (kejahatan jalanan) di Yogyakarta.
Ada identitas, foto dan latar belakang pelaku anak yang disajikan dengan jelas di media massa dan media sosial dalam pemberitaan kasus-kasus tersebut.
Masalah kasus anak tidak hanya itu saja. Dari data yang terkumpul terlihat banyaknya angka kejahatan yang melibatkan anak sebagai pelaku.
Mahkamah Agung mencatat selama tahun 2022 ada 1.153 perkara anak yang ditanganinya. Sedangkan BPRSR Sleman sebagai tempat penitipan dan pembinaan pelaku anak, tanggal 27 Maret 2023 telah menampung 87 anak, padahal kapasitasnya hanya 80. Itu artinya sudah terjadi kelebihan kapasitas.
Pasal 19 ayat 1 Undang-Undang No. 11 tahun 2012 tentang Sistem peradilan Pidana Anak mengatur bahwa identitas anak sebagai pelaku wajib dirahasiakan dalam berita media cetak dan elektronik.
Dalam ayat 2, identitas anak yang dimaksud lebih diperjelas menjadi nama anak pelaku, nama orangtua, alamat rumah, wajah dan hal-hal lainnya yang mengungkapkan jati diri anak pelaku. Pelanggar UU ini bisa dipenjara paling lama 5 tahun dan didenda maksimal Rp 500 juta.
Anak bukanlah orang dewasa. Oleh karena itu harus diperlakukan secara berbeda pula. Umurnya masih di bawah 18 tahun, kondisi kejiwaan emosi masih labil dan sedang proses pencarian jati diri.
Masa depan anak masih panjang serta akan menjadi pewaris (penerus) kehidupan kita ini. Apa yang kita lakukan padanya masa kini akan mewarnai perjalanan hidup anak di masa depan.
Dampak penghukuman dan penjeraan yang diberikan saat ini bisa membekas hingga anak sudah jadi dewasa. Bahkan menjadi catatan negatif yang melabelinya (stigmatisasi) buruk seumur hidup.
Penanganan perkara pidana anak diatur secara khusus dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang SPPA.