DEPOK, KOMPAS.com – “Itu si Galang sama Ali!" seru Alfin Mubarok (10) pada suatu senja di tepi Jalan Margonda Raya, Depok, yang seperti biasa semrawut oleh kendaraan berebut jalan.
Sore di November yang basah itu, Alfin sedang wara-wiri mencari jajanan karena rasa lapar berebut tempat di perutnya.
Di lehernya, menggantung sebuah kamera DSLR, barang yang akhir-akhir ini menjelma menjadi sahabat setianya.
Alfin, sebagaimana banyak bocah sebaya yang tumbuh di sekitar Terminal Depok Baru, sedang gandrung-gandrungnya memotret sejak kelahiran komunitas Lensa Anak Terminal pada 2021.
Galang dan Ali tampak mencolok pada senja itu. Jika Alfin belakangan bersahabat dengan kodak, Galang dan Ali belakangan karib dengan cat berwarna perak.
Mereka adalah "manusia silver", fenomena yang merebak bagai cendawan di musim penghujan di atas kerasnya aspal jalanan kota.
"Eh, moto, yuk, moto!" seru Alfin lagi kepada si kakak-beradik, dengan gestur mengajak keduanya ke dalam area Sekolah Masjid Terminal (Master), sekolah alternatif binaan yayasan yang di dalamnya terdapat rumah Alfin dan keluarga.
Baca juga: Soal Kekerasan terhadap Manusia Silver, LBH: Satpol PP Seolah Kebal Hukum
"Lah, itu kameranya ada di leher lu!" sahut Galang.
"Oh, iya,” balas Avin, “Ya udah di sini aja dah, enggak usah di rumah.”
Dengan cerdi, ia mengambil posisi agak rendah atau sudut frog-eye dalam teori fotografi.
Ia secara jeli menempatkan jembatan layang Arif Rahman Hakim di sisi kanan, sedangkan Galang dan Ali berpose di sisi kiri, dengan latar senja yang keemasan.
Dari atas menara gading
Potret yang dilahirkan Alfin pada senja itu boleh jadi membuat Capa tersenyum dari liang lahatnya.
Foto itu jenis foto yang apik karena ia mampu menangkap momen keseharian manusia silver dari jarak yang sangat dekat, untuk tidak mengatakannya tak berjarak.
Alfin bersama Galang dan Ali memang kawan sepermainan. Mereka tumbuh dalam setangkup ruang bernama jalanan.
Ruang yang acap dianggap keras, kotor, atau malah patut dijauhi bagi sebagian kalangan.
Ketiganya pernah berkecimpung bersama di Lensa Anak Terminal, sebelum Galang dan Ali terpaksa menceburkan diri lagi di antara gelombang kemacetan Jalan Margonda guna mengais buih-buih rupiah.
Baca juga: Jalan Margonda Dinilai Menjadi Tidak Macet Sejak Angkutan di Terminal Depok Dipindahkan
Di Margonda, "pekerja" anak bukan pemandangan langka. Kita bisa menyaksikan mereka di ragam persimpangan jalan, jembatan penyeberangan, hingga ruang-ruang terbuka universitas.
Sebagian mengecat tubuhnya warna perak sebagaimana Galang dan Ali. Beberapa lainnya mengamen bermodal gitar sumbang dan suara parau.
Tak sedikit yang berjualan tisu bergepok-gepok dengan wajah iba. Mengutip Iwan Fals, mereka "berkelahi dengan waktu" yang memburu.
"Saya lulus mendapatkan titel dan saya baru sadar mereka tumbuh besar badannya, tetapi ironisnya mereka masih berjualan tisu," ungkap Setyo Manggala Utama (29), pendiri Lensa Anak Terminal, membuka percakapannya dengan Kompas.com pada Jumat (10/2/2023).
Setyo alumnus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI). Selama 4 tahun masa studi, ia aktif di ragam organisasi dan gerakan kemahasiswaan yang berorientasi pada kaum marjinal.
Lulus dari Kampus Perjuangan pada 2015, Setyo sempat digembleng dunia penelitian lapangan dalam pelbagai riset yang diampu Pusat Kajian Komunikasi (Puskakom) UI.
Kepiawaiannya menguasai lapangan sekaligus fotografi membawanya ke Dompu, Nusa Tenggara Timur dan menelurkan sebuah buku foto “Dana Dompu” hasil observasinya setahun penuh.
Baca juga: Pemeran Ali Topan Anak Jalanan dari Masa ke Masa
Di sana, ia turut mendirikan perpustakaan lokal, khususnya untuk anak-anak yang kesulitan akses terhadap pustaka.
Selesai dari Dompu, ia kembali ke Depok dan menemukan mesin waktu yang membawanya pulang ke masa silam.
Anak-anak bercat silver dan berjualan tisu itu masih di sana.
Kenyataan degil ini persis dengan pemandangan yang hinggap di matanya dulu sepulang dari UI, sepulang dari kelas-kelas yang membahas berbusa-busa pentingnya emansipasi kaum marjinal dan perlindungan anak.
"Saya melihat ada permasalahan, jurang antara menara gading dan masalah yang ada. Depok salah satu tujuan orang-orang mengenyam pendidikan. Banyak kalangan intelektual yang sebetulnya bisa berkontribusi memikirkan penyelesaian masalah ini," ucap Setyo.