JAKARTA, KOMPAS.com - Pengakuan Presiden Joko Widodo atas terjadinya pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat masa lalu dinilai tidak cukup.
Lebih penting bagi pemerintah untuk kini bertanggung jawab atas peristiwa tersebut.
"Pengakuan Presiden atas pelanggaran HAM di masa lalu tersebut tidak ada artinya tanpa pertanggungjawaban hukum atas pelanggaran HAM berat masa lalu," kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid dalam keterangan tertulisnya, Kamis (12/1/2023).
Baca juga: Jokowi: Saya Sangat Menyesalkan Pelanggaran HAM Berat di 12 Peristiwa
Amnesty Internasional Indonesia mengaku menghargai sikap Presiden Jokowi mengakui terjadinya pelanggaran HAM di Indonesia sejak tahun 1960-an.
Namun, pernyataan itu disebut tertunda selama beberapa dekade. Selama ini, penderitaan para korban dibiarkan dalam kegelapan tanpa keadilan, kebenaran, dan pemulihan.
Terlebih, pemerintah hanya mengakui 12 peristiwa sebagai pelanggaran HAM berat. Padahal, ada sejumlah kejahatan mengerikan lainnya yang mestinya juga diakui sebagai pelanggaran HAM.
Misalnya, pelanggaran yang terjadi selama pendudukan dan invasi Timor Timur, tragedi Tanjung Priok 1984, peristiwa penyerangan 27 Juli 1996 atau Kudatuli, termasuk kasus pembunuhan Munir.
Baca juga: Jokowi Janji Pulihkan Hak Korban Pelanggaran HAM Berat secara Adil
Pemerintah dinilai mengabaikan fakta bahwa proses penyelidikan dan penyidikan terhadap empat kasus tersebut dilakukan setengah hati. Ini berujung pada bebasnya semua terdakwa dalam persidangan.
"Kelalaian ini merupakan penghinaan bagi banyak korban," ujar Usman.
Jika Presiden benar-benar berkomitmen mencegah terulangnya pelanggaran HAM berat, kata Usman, pihak berwenang harus segera secara efektif, menyeluruh, dan tidak memihak menyelidiki semua orang yang diduga terlibat dalam peristiwa ini.
Seandainya penyelidikan itu menghasilkan cukup bukti, para pelaku harus dituntut dalam pengadilan yang adil di hadapan pengadilan pidana.
"Tidak bisa hanya mengatakan tidak cukup bukti. Sebab selama ini lembaga yang berwenang dan berada di bawah langsung wewenang Presiden, yaitu Jaksa Agung, justru tidak serius dalam mencari bukti melalui penyidikan," kata Usman.
Pemerintah pun diingatkan untuk mengakhiri impunitas tehadap para pihak yang diduga terlibat pelanggaran HAM berat masa lalu.
Penghukuman pelaku merupakan satu-satunya cara untuk mencegah terulangnya pelanggaran HAM, sekaligus memberikan kebenaran dan keadilan sejati kepada para korban dan keluarga.
"Pelaku harus dihadapkan pada proses hukum, jangan dibiarkan, apalagi sampai diberikan kedudukan dalam lembaga pemerintahan," ucap Usman.