Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

PPKM Dicabut, Epidemiolog: Kita dalam Posisi Sangat Rawan dan Berisiko

Kompas.com - 31/12/2022, 16:07 WIB
Fika Nurul Ulya,
Ambaranie Nadia Kemala Movanita

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Epidemiolog dari Griffith University Australia, Dicky Budiman menilai Indonesia berada dalam kondisi rawan dan sangat berisiko ketika pemerintah mencabut kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM).

Kerawanan makin menjadi-jadi saat pemerintah belum membuat kebijakan untuk melarang atau memeriksa turis asing yang berasal dari negara dengan kasus Covid-19 tinggi, seperti China dan Jepang.

"Dengan dicabutnya PPKM di mana kondisi saat ini kita menghadapi Nataru (Natal dan tahun baru), tentu jelas menempatkan kita dalam posisi sangat rawan, semakin besar kerawanan dan risikonya," kata Dicky kepada Kompas.com, Sabtu (31/12/2022).

Baca juga: Ini Aturan Terbaru yang Berlaku Setelah PPKM Dicabut

Dicky menuturkan, PPKM merupakan bentuk awal penanganan pandemi Covid-19 sesuai dengan rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yang biasa disebut dengan public health and social measures (PHSM).

Dalam PHSM, ada beberapa komponen dalam upaya penanganan Covid-19. Sama halnya seperti PPKM dengan lima komponennya, meliputi penerapan protokol kesehatan, mengakselerasi vaksin, hingga melakukan karantina.

Artinya, jika PPKM dicabut, komponen-komponen itu sangat mungkin kembali diabaikan.

"Ketika dicabut berpotensi mengurangi upaya," ucap Dicky.

Baca juga: PPKM Dihentikan, Wali Kota Tangsel: Ekonomi Masyarakat Berpeluang Pulih 100 Persen

Komponen pertama adalah penanganan Covid-19 yang bersifat individu. Penanganan ini diberdayakan selama PPKM berlangsung, yaitu mencuci tangan, memakai masker, menjaga jarak, dan menghindari kerumunan.

Harapannya, masyarakat sudah memiliki kesadaran dalam komponen pertama ketika PPKM dicabut.

Sayangnya, menurut Dicky, masih banyak warga yang abai bahkan sejak sebelum dicabutnya PPKM.

"Sebelum dicabut PPKM, orang sudah males atau susah untuk booster. Apalagi kalau sudah dicabut, jadi lebih banyak risikonya dibanding manfaatnya dari sisi kesehatan," tutur Dicky.

Baca juga: Empat Hal yang Harus Dipahami Soal Pencabutan PPKM oleh Jokowi

Komponen yang kedua adalah upaya lingkungan, seperti meningkatkan sirkulasi udara dengan memasang filtrasi udara di tiap tempat, meliputi kantor, ruangan, rumah, permukaan.

Komponen ketiga adalah surveilans, meliputi testing, tracing, treatment (3T), isolasi saat terkena Covid-19, dan karantina.

"Ketika ini dicabut ketetapannya, harapannya sudah membangun kemandirian dan masyarakat sudah memiliki kemampuan menilai risiko dengan melakukan isolasi karantina, tapi masih jadi PR," tutur Dicky.

Komponen lainnya adalah memperketat pengawasan keluar masuk turis asing maupun WNI yang tinggal di luar negeri.

Baca juga: PPKM Dicabut, Kemenkes: Tidak Perlu Lagi WFH, tetapi...

 

Sedangkan saat ini, pemerintah belum menetapkan kebijakan serupa ketika Covid-19 di sebagian negara kembali melonjak.

"Ketika dicabut, sistem (pengawasan) itu harusnya sudah ada, melekat pada SOP, sehingga mampu meningkatkan ketahanan kesehatan nasional dari ancaman penyakit apapun. Saat ini risikonya besar, ditambah situasi Nataru dan situasi global yang rawan," jelas Dicky.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Kejagung Tetapkan Kadis ESDM Babel dan 4 Orang Lainnya Tersangka Korupsi Timah

Kejagung Tetapkan Kadis ESDM Babel dan 4 Orang Lainnya Tersangka Korupsi Timah

Nasional
Masuk Bursa Gubernur DKI, Risma Mengaku Takut dan Tak Punya Uang

Masuk Bursa Gubernur DKI, Risma Mengaku Takut dan Tak Punya Uang

Nasional
Sambut PKB dalam Barisan Pendukung Prabowo-Gibran, PAN: Itu CLBK

Sambut PKB dalam Barisan Pendukung Prabowo-Gibran, PAN: Itu CLBK

Nasional
Dewas KPK Minta Keterangan SYL dalam Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron

Dewas KPK Minta Keterangan SYL dalam Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron

Nasional
Soal Jatah Menteri PSI, Sekjen: Kami Tahu Ukuran Baju, Tahu Kapasitas

Soal Jatah Menteri PSI, Sekjen: Kami Tahu Ukuran Baju, Tahu Kapasitas

Nasional
Cinta Bumi, PIS Sukses Tekan Emisi 25.445 Ton Setara CO2

Cinta Bumi, PIS Sukses Tekan Emisi 25.445 Ton Setara CO2

Nasional
Menpan-RB Anas Bertemu Wapres Ma’ruf Amin Bahas Penguatan Kelembagaan KNEKS

Menpan-RB Anas Bertemu Wapres Ma’ruf Amin Bahas Penguatan Kelembagaan KNEKS

Nasional
Banyak Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik, Pengamat: Kaderisasi Partai Cuma Kamuflase

Banyak Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik, Pengamat: Kaderisasi Partai Cuma Kamuflase

Nasional
PKB Sebut Pertemuan Cak Imin dan Prabowo Tak Bahas Bagi-bagi Kursi Menteri

PKB Sebut Pertemuan Cak Imin dan Prabowo Tak Bahas Bagi-bagi Kursi Menteri

Nasional
Fokus Pilkada, PKB Belum Pikirkan 'Nasib' Cak Imin ke Depan

Fokus Pilkada, PKB Belum Pikirkan "Nasib" Cak Imin ke Depan

Nasional
Kritik Dukungan Nasdem ke Prabowo, Pengamat: Kalau Setia pada Jargon “Perubahan” Harusnya Oposisi

Kritik Dukungan Nasdem ke Prabowo, Pengamat: Kalau Setia pada Jargon “Perubahan” Harusnya Oposisi

Nasional
Megawati Tekankan Syarat Kader PDI-P Maju Pilkada, Harus Disiplin, Jujur, dan Turun ke Rakyat

Megawati Tekankan Syarat Kader PDI-P Maju Pilkada, Harus Disiplin, Jujur, dan Turun ke Rakyat

Nasional
Langkah PDI-P Tak Lakukan Pertemuan Politik Usai Pemilu Dinilai Tepat

Langkah PDI-P Tak Lakukan Pertemuan Politik Usai Pemilu Dinilai Tepat

Nasional
PSI Buka Pendaftaran Bakal Calon Kepala Daerah Pilkada 2024

PSI Buka Pendaftaran Bakal Calon Kepala Daerah Pilkada 2024

Nasional
PKB: Semua Partai Terima Penetapan Prabowo-Gibran, kecuali yang Gugat ke PTUN

PKB: Semua Partai Terima Penetapan Prabowo-Gibran, kecuali yang Gugat ke PTUN

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com