“Simpati publik itu sedemikian kenyalnya. Semakin mendapat tekanan, sang fenomena akan terus mendapat dukungan rakyat. Frasa tertindas, dikuyo-kuyo, atau dilemahkan justru akan menjadi blunder bagi penekan. Ingat suara rakyat adalah suara Tuhan. Vox populi vox dei”.
Konklusi ini saya dapatkan dari rentang pengalaman saya yang cukup panjang sebagai jurnalis, sebagai bagian dari inner circle sebuah rezim yang pernah berkuasa dan sebagai akademisi.
Saya menjadi saksi kejatuhan rezim “daripada” Soeharto yang membelenggu tanah air ini dengan tiran, korup, dan nepotis.
Saya menyaksikan “naiknya” BJ Habibie sebagai penerus Soeharto serta terpilihnya Abdurahman Wahid karena “akal-akalan” Poros Tengah yang dikomandoi Amien Rais. Naiknya Megawati Soekarnoputri, berkuasanya dua periode kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo.
Sejarah mencatat, penindasan dan keterisolasian politik yang dilakukan rezim Soeharto terhadap putri Bung Karno mendapat perlawanan dari kekuatan “diam” yang selama ini terpinggirkan di era Orde Baru.
Megawati yang dihadapkan dengan “matahari kembar” dari Cendana, yakni Mbak Tutut alias Siti Hardiyanti Rukmana, akhirnya tidak terbendung. PDI sebagai satu-satunya kekuatan oposisi berhasil memenangkan Pemilu 1999.
Fenomena Megawati yang menang pemilu, seperti halnya munculnya Corazon Aquino karena tewasnya Benigno Aquino oleh rezim represif Ferdinand Marcos di Filipina menjadi gelombang politik baru: munculnya politisi perempuan tangguh dari Asia.
Asia sebelumnya sudah memiliki Indira Gandhi (India), Benazir Bhuto (Pakistan) atau Sirimavo Bandaranaike (Sri Lanka).
Megawati bisa menarik simpati rakyat karena dianggap menjadi “korban” politik Soeharto. Megawati begitu “dikuyo-kuyo” aparat yang represif Orde Baru.
Sepanjang 1995 hingga 2010 terutama di saat Orde Baru masih berkuasa, saya menjadi saksi betapa aparat militer dan polisi serta intelijen termasuk aparat pemerintah begitu “menutup” rapat munculnya Megawati di berbagai daerah.
Pergerakan “kucing-kucingan” selalu dipilih Megawati dengan jumlah rombongan terbatas – termasuk saya – agar bisa mengelabui aparat.
Elite-elite PDIP yang sekarang kerap tampil di pentas nasional termasuk yang ada di Dewan Kolonel sekalipun, belum saya jumpai saat itu. Mungkin mereka masih berkuliah atau aktif di organisasi lain.
Megawati akhirnya terpilih sebagai presiden dan menjadi peka politik karena pengalamannya selama ini. Hanya saja, Megawati lupa akan fenomena yang sama terjadi pula pada diri SBY.
Walau secara fatsun politik SBY memang tidak elok ketika mencalonkan diri, yakni tidak secara terang-terangan dan terbuka kepada Presiden Megawati untuk sekadar lapor atau izin, tetapi publik begitu “jatuh hati” pada SBY.
SBY bisa menang Pilpres dua periode, tidak peduli siapa cawapres yang menjadi pasangannya.
Kemenangan Jokowi di dua kali Pilpres (2014 dan 2019) setelah sebelumnya teruji di Pilgub DKI 2012 karena melaluinya dengan pertarungan keras lewat dua babak pemilihan, menjadi fenomena politik baru di tanah air.
Megawati yang telah “jatuh hati” dengan Jokowi sejak mencalonkan diri sebagai Wali Kota Solo 2010, yang kebetulan juga saya dampingi secara langsung, menjadi bukti tajamnya insting politik seorang Megawati.
Diminta majunya Jokowi di laga Pilkada DKI dengan mendapat tentangan keras dari suaminya sendiri yang kadung “dekat” dengan gubernur DKI petahana Fauzi Bowo, tidak menyurutkan langkah politik Megawati untuk menandatangani rekomendasi PDIP.
Kerap saya melihat Megawati berkontemplasi “menyendiri” di Bendogirit, Blitar – letak makam Bung Karno – untuk berdialog secara kasat mata.
Dalam sholat malam yang kerap saya lihat, Megawati kerap terpekur untuk meneguhkan hatinya.
Dukungan terhadap Jokowi di Pilpres 2014 tidak terlepas dari kemampuan mata bathin Megawati.
Prabowo adalah sahabat dekat Megawati, bahkan pernah berpasangan di Pilpres 2009 melawan SBY.
Dukungan penuh Megawati terhadap Jokowi serta rivalitasnya dengan Prabowo di dua kali Pilpres, tidak menghentikan persahabatannya dengan putra begawan ekonomi Soemitro Djojohadikoesoemo itu.