Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

ICJR Soroti Lemahnya Kerangka Hukum bagi Perempuan Korban Kekerasan

Kompas.com - 11/12/2020, 17:54 WIB
Achmad Nasrudin Yahya,
Krisiandi

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyoroti lemahnya kerangka hukum bagi perempuan yang menjadi korban tindak kekerasan.

Peneliti ICJR, Maidina Rahmawati menuturkan, dalam konteks saat ini, kerangka hukum saat ini perlu direformasi untuk memberikan jaminan yang lebih bagis perempuan korban kekerasan.

"Salah satu aspek yang perlu terus dibahas adalah kerangka hukumnya, yang mana sampai saat ini masih sangat dibutuhkan reformasi," ujar Maidina dalam webinar 'Dampak Kekerasan Terhadap Perempuan: Beban yang Tak Berkesudahan' yang digelar PPH Unika Atma Jaya, Jumat (11/12/2020).

Baca juga: Atasi Ketidaksetaraan Gender, Gus Menteri Beberkan Program Pemberdayaan Perempuan di Desa

Menurutnya, dalam ranah penegakan masih terdapat perspektif yang bermasalah.

Sejauh ini, kata Maidina, aparat penegak hukum tidak mempunyai perspektif yang memadai.

Bahkan, cenderung mempunyai perspektif yang bermasalah mengenai kasus kekerasan perempuan maupun berbasis gender.

Hal itu sekalipun pemerintah mempunyai perangkat hukum, misalnya aturan di Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), hingga UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

"Misalnya, UU Perlindungan Saksi dan Korban dijelaskan, bahwa ada meikanisme restitusi yang dimohonkan ketika putusan telah diputus oleh pengadilan, itu dimungkinan. Tapi ketika telah sampai teknis itu belum jelas pengaturannya," terang Maidina.

Dengan demikian, lanjut Maidina, aturan yang ada saat ini tidak berdampak luas terhadap korban kekerasan berbasis gender.

"Alhasil, lagi-lagi, walaupun pengaturan di tingkat paling atas tersedia, tapi ke yang paling teknis kejelasan norma tidak berdampak terhadap korban," imbuh dia.

Baca juga: Serukan Perwujudan Desa Ramah Perempuan, Gus Menteri Susun Sejumlah Indikator

Data Komnas Perempuan menunjukkan, dalam 12 tahun terakhir, kasus kekerasan terhadap perempuan meningkat 792 persen atau delapan kali lipat.

Pada 2019 tercatat, 431.471 kasus. Sedangkan, sejak masa pandemi ini, angka kekerasan terhadap perempuan kenaikannya mencapai 75 persen, yaknu sebanyak 14.719 kasus.

Rinciannya, 75,4 persen di ranah personal (11.105 kasus), 24,4 persen di ranah komunitas (3.602 kasus), dan 0,08 persen dalam ranah negara (12 kasus), kemudian 3.062 kasus terjadi di ranah publik sebanyak 58 persen.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

Nasional
LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir 'Game Online' Bermuatan Kekerasan

LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir "Game Online" Bermuatan Kekerasan

Nasional
MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

Nasional
PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

Nasional
Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Nasional
Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Nasional
'Presidential Club' Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

"Presidential Club" Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

Nasional
Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Nasional
Gaya Politik Baru: 'Presidential Club'

Gaya Politik Baru: "Presidential Club"

Nasional
Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Nasional
Luhut Minta Orang 'Toxic' Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Luhut Minta Orang "Toxic" Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Nasional
PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat 'Presidential Club'

PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat "Presidential Club"

Nasional
Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Nasional
Soal 'Presidential Club', Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

Soal "Presidential Club", Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

Nasional
Soal Presidential Club, Prabowo Diragukan Bisa Didikte Presiden Terdahulu

Soal Presidential Club, Prabowo Diragukan Bisa Didikte Presiden Terdahulu

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com