JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar Hukum Tata Negara STHI Jentera, Bivitri Susanti menyebutkan bahwa omnibus law bukan satu-satunya cara untuk memangkas regulasi sebagaimana yang diinginkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).
"Omnibus law itu hanya salah satunya. Tapi sebenarnya lebih baik kalau ada upaya menyeluruh," kata Bivitri, kepada Kompas.com pada Rabu (13/11/2019) malam.
"Misalnyam mengenai diletakkannya wewenang pembentukan peraturan di bawah satu atap seperti badan regulasi," ujar Bivitri.
Menurut dia, dengan adanya badan regulasi maka potensi tumpang tindih pengaturan bisa dicegah.
Baca juga: Menurut Yasonna, Ini Undang-Undang yang Bakal Terimbas Omnibus Law
Tidak mesti berbentuk badan regulasi, kata Bivitri, tetapi unit tertentu dalam struktur pemerintahan yang ditunjuk oleh Presiden juga bisa melakukannya.
Nantinya, badan regulasi atau unit yang ditunjuk tersebut harus membuat rencana aksi reformasi regulasi yang menyeluruh.
"Pemerintah mesti membuat action plan konkret mengenai pembenahan atau reformasi regulasi ini," kata dia.
"Sekali lagi, tidak hanya omnibus law. Tapi lebih jauh dari itu. Misalnya kalau mau pakai yang disebut Pak Jokowi sebagai '1 in, 1 out policy', berarti mesti dibuat kebijakannya," kata dia.
Baca juga: Mahfud Minta Kementerian dan Lembaga Tak Keberatan dengan Omnibus Law
Rencana tersebut juga disebutkannya harus mencakup langkah teknis untuk mengkoordinasikan peraturan daerah.
Bivitri mengakui yang disampaikan Presiden Jokowi saat pidato dalam Rapat Koordinasi Nasional Indonesia Maju Pemerintah Pusat dan Forkopimda 2019 bahwa negara ini terlalu banyak aturan benar adanya.
Menurut dia, Indonesia memang memiliki kondisi hiper-regulasi.
"Sebenarnya banyaknya jumlah tidak menjadi masalah asalkan tidak ada tumpang tindih, dibuat dan diterapkan secara konsisten, dan tidak justru membebani masyarakat umum," kata Bivitri.
Namun yang menjadi masalah, menurut dia, hiper-regulasi tersebut terjadi dengan kondisi tumpang tindih peraturan dan penerapannya yang cenderung tak konsisten.
Tak mengherankan jika hal tersebut membebani masyarakat umum, tidak hanya pelaku usaha.
"Jadi yang terpenting sekarang adalah bagaimana upaya pemerintah untuk menangani ini. Harus ada langkah konkret setelah pidato, karena arahan yang sifatnya umum biasanya tidak akan terlalu efektif dilaksanakan," kata dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.