JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun menilai bahwa sistem pemilu di Indonesia masih lemah. Hal ini ditandai dari belum terciptanya pemilu yang benar-benar jujur dan adil.
Padahal, prinsip pemilu, yaitu "langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil" adalah cerminan dari negara yang konstitusional.
"Saya kira memang kecenderungan untuk tak jurdil itu kan memang ada," kata Refly dalam sebuah diskusi berjudul "Jalan Pasti Sistem Politik dan Pemilu Indonesia", di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Senin (5/8/2019).
Menurut Refly, seharusnya sistem pemilu di Indonesia mampu melakukan dua hal utama.
Baca juga: Fahri Hamzah: KPU Jangan Ikut Bikin Politik Penyelenggaraan Pemilu
Pertama, sistem diharapkan dapat mencegah praktik ketidakadilan dan ketidakjujuran pemilu.
Kedua, sekalipun tidak tercipta ketidakadilan dan ketidakjujuran, seharusnya ada komponen penegak hukum yang efektif.
"Unfotunately, kita tak punya keduanya," ujar dia.
Refly mencontohkan, tidak adanya prinsip pemilu yang jurdil dan penegak hukum yang efektif melahirkan adanya politik uang.
Banyak terjadi di daerah, calon legislatif yang telah membina konstituen selama bertahun-tahun, dikalahkan perolehan suaranya oleh caleg yang menggunakan 'serangan fajar'.
Baca juga: E-Rekapitulasi Disebut Tak Bisa Cegah Kecurangan Pemilu 100 Persen
Namun, atas hal ini, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang seharusnya mampu ambil tindakan pun tak bisa banyak berbuat.
"Kita menyaksikan ironi yang luar biasa, orang yakin sekali pemilu kita banyak kecurangan, masih banyak praktik-praktik money politics, tapi hampir tidak ada mereka didiskualifikasi karena faktor-faktor tersebut," kata Refly.
Untuk menyelesaikan persoalan ini, menurut Refly, harus ada efektivitas penegakan hukum. Mata rantai penegakan hukum pemilu harus dipangkas supaya tidak terlalu panjang dan berbelit.
Sebab, jika sistem penegakan hukum terlalu panjang, justru berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum.
"Salah satu penegakan hukum yang solid, harus single dia, tak boleh institusi yang terlibat itu terlalu banyak. Karena apa, satu keputusan institusi bisa dibatalkan institusi lainnya," kata Refly Harun.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.