JAKARTA, KOMPAS.com - Indonesia tidak pernah menggunakan ganja sebagai salah satu bahan obat jenis apapun. Demikian diungkapkan Kepala Pusat Laboratorium Narkotika Badan Narkotika Nasional (BNN) Brigjen (Pol) Mufti Djusnir.
"Karena kami sudah memasukan ganja ke dalam narkotika golongan I dalam UU Nomor 35 tahun 2009. Kalau golongan I itu, kami tidak sepakat digunakan untuk keperluan medis," kata Mufti, sebagaimana dikutip Antara, Rabu (31/7/2019).
Baca juga: Tanggapi Kasus Mahasiswa Jual Ganja, BNNP DKI Minta Kampus Aktif Berantas Narkoba
Selain itu, tidak pernah ada peraturan yang melegalkan penggunaan ganja untuk keperluan medis apapun bahkan sebelum pengesahan UU Narkotika pada 2009.
Penggunaan ganja di Tanah Air, sesuai UU 35/2019, hanya untuk keperluan penelitian lembaga yang berwenang.
Mufti melanjutkan, narkotika golongan tersebut mempunyai dampak ketergantungan yang sangat tinggi apabila dikonsumsi manusia.
"Penyelewengannya jauh lebih buruk ketimbang manfaatnya. Banyak (pihak) yang menggunakan ganja ini untuk tujuan penyalahgunaan ketimbang medis," ujar dia.
Lantas, bagaimana penggunaan ganja sebagai medis di luar negeri?
Baca juga: Ganja dan 80 Butir Amunisi yang Disita Diduga untuk Kelompok Separatis di Nduga
Ahli medis dari University of Pennsylvania Perelman School of Medicine Marcel Bonn-Miller mengungkapkan, pengobatan menggunakan ganja di beberapa negara kawasan Eropa dan Amerika Serikat biasanya terbatas pada ganja dalam bentuk tanaman atau zat kimia di dalamnya, yakni Delta-9-tetrahydrocannabinol (THC) dan cannabidiol (CBD).
Sejumlah masalah kesehatan yang biasanya ditangani lewat mengonsumsi ganja, antara lain penyakit Alzheimer, kanker, anoreksia, glukoma, gangguan kejiwaan seperti skizofrenia dan PTSD, multiple sclerosis (MS) dan nyeri.
"Tetapi, belum ada bukti ganja bisa membantu kondisi-kondisi tersebut," tutur Bonn-Miller.