PRESIDEN keenam RI yang juga Ketua Umum Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dalam sebuah surat yang dibacakan oleh Sekjen Partai Demokrat, Hinca Panjaitan, Kamis (28/2/2019), menilai Pilpres 2019 sebagai ajang pilpres paling keras sejak reformasi.
Penilaian SBY ini didasarkan polarisasi masyarakat yang sangat tajam, lebih tajam dibandingkan pilpres-pilpres sebelumnya.
“Pemilu memang keras. Tapi tak sepatutnya menimbulkan perpecahan dan disintegrasi. Diperlukan tanggung jawab dan jiwa besar kita semua. Utamanya para elite dan pemimpin bangsa,” kata SBY.
Pilpres 2019, begitu pula Pilpres 2014, membuat masyarakat terbelah antara pendukung Jokowi dan Prabowo. “Perang” antarpendukung terjadi di berbagai media sosial, menguras energi dan tenaga. Perang pendukung tak lagi sehat karena sudah melupakan akal sehat, dan tak jarang hingga memutus silaturahmi.
Panasnya suhu politik yang melahirkan polarisasi tajam di masyarakat tak bisa dipungkiri sebagai akibat dari tindakan para elite politik.
Dari cara berkampanye yang dilakukan, khususnya narasi-narasi kampanye yang dibangun, tampak bahwa para elite seakan memaknai politik kontestasi pilpres sebagai ajang perang untuk menjatuhkan dan menegasikan (meniadakan) kubu lawan demi kepentingan pragmatis merebut kekuasaan.
Padahal, pilpres sejatinya merupakan ajang (atau diistilahkan ‘pesta’) demokrasi yang menjunjung nilai kompetisi dan saling menghormati. Di satu sisi kompetisi atas ide dan gagasan guna mewujudkan masa depan bangsa yang lebih baik, di sisi lain menjaga martabat masing-masing dengan saling menghormati.
Pemaknaan politik pilpres oleh para elite tersebut setidaknya tercermin dari strategi, atau setidaknya diksi, yang diadopsi. Istilah “Perang Total”, misalnya, digunakan oleh TKN Jokowi-Ma’ruf untuk merebut kemenangan dalam persentase optimal.
“Totalitas jadi hal yang kita dengungkan,” kata Wakil Ketua TKN Jokowi-Ma’ruf, Moeldoko, seperti dikutip.
Politik negasi dalam pilpres dan tajamnya polarisasi masyarakat yang ditimbulkan akan dibahas pada panggung Satu Meja The Forum yang ditayangkan secara langsung di Kompas TV, Rabu (6/3/2019).
Di Indonesia, istilah “pesta demokrasi” telah melekat atau dipertukarkan dengan “Pemilu” di berbagai tingkatannya, mulai dari pilkada, pileg, hingga pilpres.
Pengertian pesta, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, merujuk pada perayaan dan bersuka ria. Pesta selayaknya disambut dengan suka ria, bukan sebaliknya dengan perasaan mencekam dan menegangkan.
Istilah “pesta demokrasi” diperkenalkan Presiden Soeharto. Presiden RI kedua tersebut menyematkan julukan itu saat berpidato di pembukaan Rapat Gubernur/Bupati/Walikota se-Indonesia di Jakarta, Senin 23 Februari 1981.
“Pemilu harus dirasakan sebagai pesta poranya demokrasi, sebagai penggunaan hak demokrasi yang bertanggung jawab dan sama sekali tidak berubah menjadi sesuatu yang menegangkan dan mencekam,” kata Soeharto.
Pemilu di Indonesia yang pertama kali dijuluki “pesta demokrasi” adalah Pemilu 1982.