Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

ICW Minta BPK Segera Hitung Kerugian Negara Akibat PNS Koruptor yang Belum Dipecat

Kompas.com - 20/02/2019, 12:44 WIB
Christoforus Ristianto,
Diamanty Meiliana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Indonesia Corruption Watch (ICW) memberikan laporan terkait jumlah pegawai negeri sipil (PNS) yang terpidana korupsi namun belum dipecat kepada Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK).

ICW meminta BPK menghitung kerugian negara akibat menggaji PNS koruptor tersebut.

"ICW mendesak BPK segera melakukan pemeriksaan terhadap instansi yang tercatat belum memecat PNS berstatus terpidana korupsi. BPK harus melakukan langkah menghitung kerugian negara akibat gaji yang telah dibayarkan kepada PNS tersebut," ujar peneliti divisi investigasi ICW Wana Alamsyah di kantor BPK, Rabu (20/2/2019).

Baca juga: ICW Minta BPK dan Kemenkeu Bertindak Cepat soal Lambatnya Pemecatan PNS Koruptor

Dari data Badan Kepegawaian Nasional (BKN) per 14 Januari 2019, baru 393 PNS yang diberhentikan tidak dengan hormat dari daftar 2.357 PNS yang telah divonis bersalah melalui putusan berkekuatan hukum tetap.

Di luar 2.357 PNS tersebut, terdapat tambahan 498 PNS yang terbukti korupsi dan diberhentikan. Sehingga, total PNS yang diberhentikan baru mencapai 891 orang. Masih ada 1.466 atau 62 persen PNS yang belum dipecat.

Baca juga: ICW Minta Jokowi Tegas soal Lambatnya Pemecatan PNS Koruptor

Wana menegaskan, langkah BPK diperlukan lantaran pembayaran gaji PNS berstatus terpidana korupsi tidak sesuai dengan aturan yang berlaku.

"Selain itu, dalam jangka panjang, kerugian negara yang timbul akan merugikan khalayak banyak (masyarakat," paparnya kemudian.

Sebelumnya, pada akhir Januari 2019, KPK mengingatkan seluruh pimpinan lembaga negara tak berkompromi dalam memecat PNS yang sudah divonis bersalah dalam kasus korupsi.

Baca juga: KPK Ingatkan Pimpinan Lembaga Negara Tak Kompromi terhadap PNS Koruptor

"Kami Ingatkan agar kita semua tidak bersikap kompromi terhadap pelaku korupsi. Apalagi yang belum diberhentikan ini adalah mereka yang sudah divonis bersalah," kata juru bicara KPK Febri Diansyah, Senin (28/1/2019).

Adapun Kepala Biro Hukum Kementerian Dalam Negeri, Widodo Sigit Pudjianto, menyatakan, lambatnya PNS yang terbukti korupsi karena adanya keraguan dari sekretaris daerah (sekda) dalam menindak tegas PNS.

"Sekdanya ragu. Saya sudah sampaikan ke mereka dan kepala daerah untuk jangan ragu memecat. Kalau bingung, tanya ke saya, Kemendagri siap bantu," ujar Sigit.

Kompas TV KPK kembali melakukan operasi tangkap tangan. Kali ini KPK menangkap Bupati Pakpak Bharat, Sumatera Utara, Remigo Yolando Berutu. Remigo ditangkap terkait dugaan suap proyek Dinas PUPR Pakpak Bharat. Ketua KPK Agus Rahardjo mengonfirmasi ada kepala daerah yang ditangkap KPK pada Minggu (18/11/2018) dini hari tadi. Penangkapan berdasarkan dugaan suap terkait proyek Dinas PU di Pakpak Bharat. Bupati Pakpak Bharat, Remigo Yolando Berutu yang ditangkap KPK merupakan kader Partai Demokrat. Saat maju di Pilkada 2015 lalu dia diusung 8 partai. Selain kepala daerah, KPK juga menangkap kepala dinas, pegawai negeri sipil dan pihak swasta.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Ketika Kepala-Wakil Kepala Otorita IKN Kompak Mengundurkan Diri ...

Ketika Kepala-Wakil Kepala Otorita IKN Kompak Mengundurkan Diri ...

Nasional
KPU Diharap Tak Ikuti Putusan MA Terkait Usia Calon Kepala Daerah

KPU Diharap Tak Ikuti Putusan MA Terkait Usia Calon Kepala Daerah

Nasional
Adam Deni Hadapi Sidang Vonis Kasus Pencemaran Ahmad Sahroni Hari Ini

Adam Deni Hadapi Sidang Vonis Kasus Pencemaran Ahmad Sahroni Hari Ini

Nasional
Pentingnya Syarat Kompetensi Pencalonan Kepala Daerah

Pentingnya Syarat Kompetensi Pencalonan Kepala Daerah

Nasional
Nasihat SBY untuk Para Pemimpin Setelah 2014

Nasihat SBY untuk Para Pemimpin Setelah 2014

Nasional
Dulu Jokowi Tak Setujui Gibran Jadi Cawapres, Bagaimana Dengan Kaesang di Pilkada Jakarta?

Dulu Jokowi Tak Setujui Gibran Jadi Cawapres, Bagaimana Dengan Kaesang di Pilkada Jakarta?

Nasional
[POPULER JABODETABEK] Pedagang Pelat Mengaku Enggan Terima Pesanan Pelat Nomor Palsu | Warga Sebut Tapera Hanya Mempertimbangkan Kebutuhan Pemerintah

[POPULER JABODETABEK] Pedagang Pelat Mengaku Enggan Terima Pesanan Pelat Nomor Palsu | Warga Sebut Tapera Hanya Mempertimbangkan Kebutuhan Pemerintah

Nasional
[POPULER NASIONAL] Kepala dan Wakil Kepala Otorita IKN Mundur | Tugas Baru Budi Susantono dari Jokowi

[POPULER NASIONAL] Kepala dan Wakil Kepala Otorita IKN Mundur | Tugas Baru Budi Susantono dari Jokowi

Nasional
Tanggal 7 Juni 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 7 Juni 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Kejagung Periksa Adik Harvey Moeis Jadi Saksi Kasus Korupsi Timah

Kejagung Periksa Adik Harvey Moeis Jadi Saksi Kasus Korupsi Timah

Nasional
SYL Ngaku Bayar Eks Jubir KPK Febri Diansyah Jadi Pengacara dengan Uang Pribadi

SYL Ngaku Bayar Eks Jubir KPK Febri Diansyah Jadi Pengacara dengan Uang Pribadi

Nasional
PDI-P Sebut Pemanggilan Hasto oleh Polda Metro Jaya Upaya Bungkam Suara Kritis

PDI-P Sebut Pemanggilan Hasto oleh Polda Metro Jaya Upaya Bungkam Suara Kritis

Nasional
Apresiasi Perwira Inovatif, Annual Pertamina Awards Ke-14 Resmi Dibuka

Apresiasi Perwira Inovatif, Annual Pertamina Awards Ke-14 Resmi Dibuka

Nasional
Bertanya ke Saksi, SYL Tegaskan Bagikan Sembako hingga Sewa Pesawat untuk Kepentingan Masyarakat

Bertanya ke Saksi, SYL Tegaskan Bagikan Sembako hingga Sewa Pesawat untuk Kepentingan Masyarakat

Nasional
162.961 Jemaah Haji Sudah Tiba di Arab Saudi, 36 Wafat

162.961 Jemaah Haji Sudah Tiba di Arab Saudi, 36 Wafat

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com