JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Jenderal Pemasyarakatan Sri Puguh Budi Utami mengakui, para tahanan dan narapidana di beberapa rutan dan lapas di Sulawesi Tengah diizinkan untuk pulang setelah peristiwa gempa bumi dan tsunami pada Jumat (28/9/2018).
Utami mengatakan, hal itu terpaksa dilakukan karena mempertimbangkan alasan kemanusiaan.
"Tidak beradanya para tahanan dan narapidana di Lapas Palu, Rutan Poso dan Rutan Donggala, semata-mata sebagai kebutuhan penyelamatan diri atas dampak gempa," ujar Utami dalam siaran pers, Senin (1/10/2018).
Baca juga: Sebelum Kebakaran di Rutan Donggala, Warga Binaan Sudah Diizinkan Keluar
Menurut Utami, peristiwa gempa bumi ini membuat bangunan Lapas dan Rutan di wilayah tersebut rusak dan mengancam keselamatan narapidana dan tahanan.
Ia juga menyebutkan, adanya provokasi perlawanan dengan pembakaran oleh penghuni di Rutan Donggala, bisa dimaklumi karena secara naluri para tahanan mencari keselamatan jiwa dan informasi tentang kondisi keluarga mereka.
Hal itu terbukti saat sebagian besar tahanan kembali melaporkan diri ke lapas dan rutan.
Dua hari pasca terjadinya gempa, bahan makanan di rutan dan lapas habis.
Baca juga: Kelebihan Kapasitas Jadi Penyebab Situasi Tak Kondusif di Rutan Donggala
Pihak rutan dan lapas berupaya mencari toko yang masih buka untuk menemukan bahan makanan dan memberikan kepada tahanan yang tersisa.
"Lumpuhnya penyelenggaraan layanan, khususnya layanan makan serta kondisi hunian yang belum seutuhnya dapat dipergunakan, menjadi pertimbangan mereka tetap berada di masyarakat atau dekat dengan keluarganya," kata Utami.
Menurut data Ditjen Pemasyarakatan, total warga binaan di rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan di Sulawesi Tengah sebanyak 3.220 orang.
Dari jumlah tersebut, hanya tersisa 1.795 orang yang tetap berada di dalam tahanan pasca gempa.
.
.