Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Menarik di Balik Sejarah Mudik...

Kompas.com - 06/06/2018, 13:44 WIB
Aswab Nanda Pratama,
Inggried Dwi Wedhaswary

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Mudik selalu identik dengan Lebaran. Para perantau kembali ke kampung halaman, melepas rindu, dan berkumpul dengan keluarga besar.

Pilihan cara untuk kembali ke kampung halaman juga semakin beragam. Ada yang naik kendaraan umum, ada pula yang memilih menggunakan transportasi umum.

Jika kembali ke masa lalu, seperti apa sejarah mudik? Ternyata, ada cerita menarik di dalamnya.

Dosen Sejarah Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Silverio Raden Lilik Aji Sampurno mengungkapkan, mudik sudah ada sejak zaman Majapahit dan Mataram Islam.

 
"Awalnya, mudik tidak diketahui kapan. Tetapi ada yang menyebutkan sejak zaman Majapahit dan Mataram Islam, " Silverio saat dihubungi Kompas.com, Rabu (6/52018) siang.
 
Dulu, wilayah kekuasaan Majapahit hingga ke Sri Lanka dan Semenanjung Malaya.

Oleh karena itu, pihak kerajaan Majapahit menempatkan pejabatnya ke berbagai wilayah untuk menjaga daerah kekuasaannya.

Baca juga: Dari Mana Asal Kata Mudik dan Lebaran?

 
Suatu ketika, pejabat itu akan balik ke pusat kerajaan untuk menghadap Raja dan mengunjungi kampung halamannya. Hal ini kemudian dikaitkan dengan fenomena mudik.
 
"Selain berawal dari Majapahit, mudik juga dilakukan oleh pejabat dari Mataram Islam yang berjaga di daerah kekuasaan. Terutama mereka balik menghadap Raja pada Idul Fitri," kata dia.
 
Istilah mudik sendiri baru tren pada tahun 1970-an. Mudik merupakan sebuah tradisi yang dilakukan oleh perantau di berbagai daerah untuk kembali ke kampung halamannya.

Mereka kembali ke kampung halamannya untuk berkumpul bersama dengan keluarga.

 
"Mudik menurut orang Jawa itu kan dari kata Mulih Disik yang bisa diartikan pulang dulu. Hanya sebentar untuk melihat keluarga setelah mereka menggelandang (merantau)," ujar Silverio.

Stasiun KA Pasar Senen, menjadi stasiun paling sibuk untuk memberangkatkan KA ke arah timur. Sejak Kamis (10 Maret 1994), sekitar 4.000 dari 5.000 calon penumpang sudah diberangkatkan. Suasana di dalam kereta ekonomi pun panas dan penuh sesak. Mereka yang tidak kebagian tempat duduk, terpaksa duduk di bawah beralaskan koran dan bersandar pada tas atau barang bawaan yang mereka bawa.  KOMPAS/Moch S Hendrowijono Stasiun KA Pasar Senen, menjadi stasiun paling sibuk untuk memberangkatkan KA ke arah timur. Sejak Kamis (10 Maret 1994), sekitar 4.000 dari 5.000 calon penumpang sudah diberangkatkan. Suasana di dalam kereta ekonomi pun panas dan penuh sesak. Mereka yang tidak kebagian tempat duduk, terpaksa duduk di bawah beralaskan koran dan bersandar pada tas atau barang bawaan yang mereka bawa.
Selain itu, masyarakat Betawi mengartikan mudik sebagai "kembali ke udik". 

Dalam bahasa Betawi, kampung itu berarti udik. Saat orang Jawa hendak pulang ke kampung halaman, orang Betawi menyebut "mereka akan kembali ke udik".

Akhirnya, secara bahasa mengalami penyederhanaan kata dari "udik" menjadi "mudik".

 
Selain mengunjungi sanak keluarga di kampung halaman, saat mudik, para perantau juga melakukan ziarah ke kuburan sanak keluarganya. 

Baca juga: Mudik ke Solo atau Jogja, Jangan Lupa Oleh-oleh Tahu Bakso Khas Ungaran

 
Hal tersebut dilakukan untuk meminta doa restu agar pekerjaan dan kehidupan di perantauan berlangsung baik.

Berbeda

 
Dalam perkembangannya, mudik pada zaman dahulu dengan zaman sekarang terdapat perbedaan.

Pada zaman dulu, mudik dilakukan secara natural untuk mengunjungi dan berkumpul dengan keluarga.

 
Namun, menurut Silverio, pada era sekarang, perantau yang mudik sekaligus menunjukkan eksistensi dirinya selama di perantauan.

Mereka yang balik ke kampung akan membawa sesuatu yang membanggakan diri dan keluarganya.

 
"Pada era ini kebanyakan pemudik memaksakan diri untuk tampil sebaik mungkin, cenderung wah," kata Silverio 

Kompas TV Moeldoko juga meminta agar pemudik tak memaksakan untuk naik sepeda motor. Imbauan itu dilakukan demi keselamatan pemudik.

 

 
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com