DEPOK, KOMPAS.com - Seorang laki-laki asal Klender, Jakarta bernama Yan Syahrial Hasibuan (52) mengaku ingin jadi negosiator sandera anggota Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror. Ia pun datang ke Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok pada Kamis (10/5/2018) pukul 01.45 WIB dini hari.
Tim pengamanan di sekitar area Rutan Mako Brimob langsung memeriksa kedatangan Hasibuan ini.
"Sebagai pemikir agama bangsa dan negara, di mana ketika ini ada suatu masalah, semaksimal mungkin saya harus terjun. Paling tidak saya harus memakai pemikiran saya untuk menyelesaikan masalah tersebut," kata Hasibuan kepada wartawan.
Ia mengaku ingin melakukan negosiasi dengan tahanan teroris. Hal itu agar sandera dari pihak kepolisian bisa dibebaskan.
"Tapi sebelumnya saya harus meeting dulu dengan petinggi Brimob supaya tidak salah paham dengan saya," jelasnya.
Baca juga : Bripka Iwan Sarjana, Sandera Terakhir di Mako Brimob Dibebaskan
Ia mengaku memiliki ilmu dan pengalaman untuk melakukan negosiasi. Hasibuan menyebut ia telah dididik ulama selama 23 tahun di Timur Tengah.
"Bukan hanya belajar Islam tapi saya sebelum ke sana sudah jadi ustadz. Saya amati ulama sana untuk berpikir," ujarnya.
Pihak polisi yang berjaga lalu mengarahkan Hasibuan untuk menunggu di depan Pom Bensin Jalan Akses UI. Pihak polisi lalu membawa Hasibuan menggunakan mobil Tim Jaguar.
Sebelumnya, sandera terakhir yaitu Bripka Iwan Sarjana telah dibebaskan dalam terluka sekitar pukul 12.00. Ia kemudian langsung dibawa ke RS Polri, Kramat Jati, Jakarta Timur.
Baca juga : Polisi yang Disandera di Mako Brimob Dibebaskan dalam Kondisi Luka
Kepala Divisi Humas Polri Irjen Setyo Wasisto mengatakan negosiasi antara polisi dan para narapidana di Mako Brimob, Depok masih dilakukan hingga pukul 01.15, Kamis (10/5/2018).
"Negosiasi-negosiasi lain masih kami lakukan karena senjata masih ada di dalam," ujat Setyo saat memberikan keterangan di Markas Korps Sabhara Baharkam, Depok, Kamis dini hari.
Insiden di Markas Korps Brimob Kelapa Dua berawal dari keributan antara tahanan dan petugas kepolisian.
Keributan tersebut bermula dari penolakan pihak keluarga narapidana terorisme saat polisi hendak memeriksa makanan yang dibawa. Ketika itu, pihak keluarga bermaksud menjenguk salah satu narapidana terorisme.
Akibat insiden tersebut, lima polisi gugur dan satu narapidana tewas. Satu narapidana terorisme itu ditembak karena melawan dan merebut senjata petugas.