Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cegah Tindak Pencucian Uang dan Terorisme, PPATK Minta Penguatan Regulasi

Kompas.com - 27/03/2018, 11:29 WIB
Dylan Aprialdo Rachman,
Sabrina Asril

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com — Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) melihat sejumlah pokok persoalan yang perlu dihadapi melalui penguatan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 13 Tahun 2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenai Pemilik Manfaat atas Korporasi dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme.

Kepala PPATK Kiagus Ahmad Badaruddin mengungkapkan, berbagai kejahatan yang dilakukan oleh orang perseorangan ataupun korporasi dalam batas wilayah suatu negara ataupun melintasi batas wilayah negara lain semakin meningkat.

"Kejahatan tersebut antara Iain berupa tindak pidana korupsi, penyuapan penyelundupan barang, penyelundupan tenaga kerja, penyelundupan imigran, perbankan, perdagangan gelap narkotika dan psikotropika, perdagangan wanita dan anak, perdagangan senjata gelap, pencucian, terorisme, dan berbagai kejahatan kerah putih Iainnya," ujar Kiagus di Hotel Grand Mercure, Jakarta, Selasa (27/3/2018).

Baca juga: Setelah Dua Tahun, Indonesia Keluar dari Daftar Hitam Anti-pendanaan Teroris

Kiagus menilai, kejahatan-kejahatan tersebut telah melibatkan dan menghasilkan harta kekayaan yang sangat besar. Korporasi, kata dia, kerap kali digunakan pelaku tindak pidana untuk menyembunyikan dan menyamarkan identitas pelaku dan hasil tindak pidana.

"Korporasi ini dimanfaatkan pelaku tindak pidana sebagai kendaraan atau media pencucian uang," katanya.

Kiagus berkaca pada penelitian Financial Action Task Force (FATF) tahun 2014 menyatakan bahwa rendahnya informasi pemilik manfaat yang akurat dan benar kerap kali dimanfaatkan pelaku tindak pidana untuk menyembunyikan identitas pelaku, menyamarkan tujuan pembukaan rekening korporasi yang akan dijadikan media pencucian uang, dan menyembunyikan tujuan penggunaan harta kekayaan dari korporasi yang diduga dari tindak pidana.

Baca juga: PPATK Pantau Transaksi Bitcoin karena Rawan Pencucian Uang

"Defisiensi global ini membuktikan masih belum banyaknya negara yang memiliki pengaturan dan menerapkan kebijakan transparansi informasi pemilik manfaat korporasi," katanya.

Kiagus juga mengungkapkan hasil penilaian risiko tahun 2015 atas potensi tindak pidana pencucian uang di Indonesia. Berdasarkan hasil tersebut, tingkat ancaman pidana pencucian uang oleh korporasi lebih tinggi dibandingkan dengan perorangan.

"Tingkat ancaman pidana pencucian uang yang dilakukan korporasi lebih tinggi dengan nilai ancaman 7,1 dibandingkan dengan perorangan dengan nilai 6,74," kata Kiagus.

Oleh karena itu, Kiagus menyimpulkan bahwa Indonesia perlu segera melakukan penguatan pengaturan dan penerapan transparansi informasi pemilik manfaat dari korporasi melalui penguatan Perpes Nomor 30 Tahun 2018.

Kompas TV KPK memiliki total 367 kartu kredit dengan total penggunaan Rp 19 miliar hingga Februari 2018.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Niat Gibran Ingin Konsultasi dengan Megawati soal Kabinet Dimentahkan PDI-P

Niat Gibran Ingin Konsultasi dengan Megawati soal Kabinet Dimentahkan PDI-P

Nasional
SBY Doakan dan Dukung Prabowo Sukses Jaga Keutuhan NKRI sampai Tegakkan Keadilan

SBY Doakan dan Dukung Prabowo Sukses Jaga Keutuhan NKRI sampai Tegakkan Keadilan

Nasional
'Presidential Club', 'Cancel Culture', dan Pengalaman Global

"Presidential Club", "Cancel Culture", dan Pengalaman Global

Nasional
Hari Ini, Hakim Agung Gazalba Saleh Mulai Diadili di Kasus Gratifikasi dan TPPU

Hari Ini, Hakim Agung Gazalba Saleh Mulai Diadili di Kasus Gratifikasi dan TPPU

Nasional
Respons Partai Pendukung Prabowo Usai Luhut Pesan Tak Bawa Orang 'Toxic' ke Dalam Pemerintahan

Respons Partai Pendukung Prabowo Usai Luhut Pesan Tak Bawa Orang "Toxic" ke Dalam Pemerintahan

Nasional
Bongkar Dugaan Pemerasan oleh SYL, KPK Hadirkan Pejabat Rumah Tangga Kementan

Bongkar Dugaan Pemerasan oleh SYL, KPK Hadirkan Pejabat Rumah Tangga Kementan

Nasional
Soal Maju Pilkada DKI 2024, Anies: Semua Panggilan Tugas Selalu Dipertimbangkan Serius

Soal Maju Pilkada DKI 2024, Anies: Semua Panggilan Tugas Selalu Dipertimbangkan Serius

Nasional
Kloter Pertama Jemaah Haji Indonesia Dijadwalkan Berangkat 12 Mei 2024

Kloter Pertama Jemaah Haji Indonesia Dijadwalkan Berangkat 12 Mei 2024

Nasional
Saat Jokowi Sebut Tak Masalah Minta Saran Terkait Kabinet Prabowo-Gibran...

Saat Jokowi Sebut Tak Masalah Minta Saran Terkait Kabinet Prabowo-Gibran...

Nasional
'Presidential Club' Ide Prabowo: Dianggap Cemerlang, tapi Diprediksi Sulit Satukan Jokowi-Megawati

"Presidential Club" Ide Prabowo: Dianggap Cemerlang, tapi Diprediksi Sulit Satukan Jokowi-Megawati

Nasional
[POPULER NASIONAL] Masinton Sebut Gibran Gimik | Projo Nilai PDI-P Baperan dan Tak Dewasa Berpolitik

[POPULER NASIONAL] Masinton Sebut Gibran Gimik | Projo Nilai PDI-P Baperan dan Tak Dewasa Berpolitik

Nasional
Tanggal 8 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 8 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
 PAN Nilai 'Presidential Club' Sulit Dihadiri Semua Mantan Presiden: Perlu Usaha

PAN Nilai "Presidential Club" Sulit Dihadiri Semua Mantan Presiden: Perlu Usaha

Nasional
Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

Nasional
LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir 'Game Online' Bermuatan Kekerasan

LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir "Game Online" Bermuatan Kekerasan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com