Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

3 Tahun Jokowi-JK, Rendahnya Penerimaan Pajak Jadi Sorotan

Kompas.com - 21/10/2017, 06:55 WIB
Estu Suryowati

Penulis


JAKARTA, KOMPAS.com – Indonesia Corruption Watch (ICW) menyoroti rendahnya nisbah atau rasio penerimaan pajak dalam tiga tahun pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla.

Koordinator Divisi Riset ICW, Firdaus Ilyas mengatakan hal itu akan menjadi masalah serius yang berdampak terhadap kebijakan populis Jokowi-JK seperti infrastruktur dan poros maritim.

“Kalau zaman sebelumnya, Pak SBY 12 persen-an, bahkan di era Soeharto bisa 13,4 persen misalnya. Di zaman Jokowi selama tiga tahun itu relatif di bawah 11 persen,” kata Firdaus, dalam sebuah diskusi di Jakarta, Jumat (20/10/2017).

Berdasarkan catatan ICW, rasio penerimaan pajak terus turun dalam tiga tahun pemerintahan Jokowi-JK, dari 11,9 persen pada 2014, menjadi 10,9 persen pada 2015, dan turun lagi menjadi 10,3 persen pada 2016.

“Artinya, dalam rentang waktu dua tahun tersisa, apakah mungkin pemerintah bisa mengejar target rasio pajak menjadi 16 persen?” kata Firdaus.

(baca: Sayur Oyong Jokowi dan Isyarat Penerimaan Pajak yang Meleset)

Padahal pemerintah sedianya telah melaksanakan program pengampunan pajak (tax amnesty) mulai paruh kedua 2016, dengan harapan meningkatkan basis penerimaan pajak (baseline).

Akan tetapi, menurut Firdaus, dengan kondisi ketergesaan dan ketidaksiapan regulasi dan kelembagaan, program ini belum memberikan kontribusi nyata bagi penerimaan negara.

“Meski dari sisi deklarasi harta dianggap cukup sukses yaitu mencapai Rp 4.884 triliun, tetapi hanya Rp 147 triliun yang akan direpatriasi,” ucap Firdaus.

Firdaus menjelaskan, akan menjadi rapor merah bagi pemerintah, khususnya untuk segala kebijakan populisnya seperti infrastruktur dan poros maritim apabila tidak bisa mengejar penerimaan dalam negeri.

“Apakah kita akan bergantung pada utang? Ini akan menjadi catatan buruk di dalam pemerintahan,” kata Firdaus.

Kompas TV Membaiknya iklim investasi di tanah air mulai banyak menarik perhatian investor asing. Hal ini sejalan dengan perbaikan rating yang diberikan beberapa lembaga, seperti Moody's. Sementara itu, di sisi konsumsi, belanja masyarakat pun terbukti andal ditengah kelesuan ekonomi. Dengan kondisi ini, pemerintah optimistis pertumbuhan ekonomi tahun ini juga bakal melebihi target. Apalagi, sejumlah komoditas andalan Indonesia telah membaik harganya sejalan kenaikan harga minyak dunia. Meski begitu, pemerintah tetap mewaspadai fluktuasi ekonomi dunia. Ini terkait berbagai kebijakan presiden terpilih Amerika Serikat dan juga kondisi ekonomi regional khususnya Tiongkok dan Jepang. Sementara itu, para ekonom juga mengingatkan tantangan dari dalam negeri, khususnya soal penerimaan pajak serta inflasi. Masih liarnya harga sejumlah kebutuhan akan diperparah dengan kebijakan harga terkait pencabutan subsidi tarif listrik. Tentunya target tersebut bisa terlampaui. Sehingga pertumbuhan ekonomi di tahun ini bisa melebihi realisasi tahun lalu dan tentunya bisa lebih dirasakan semua kalangan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

Nasional
PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

Nasional
Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Nasional
Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Nasional
'Presidential Club' Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

"Presidential Club" Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

Nasional
Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Nasional
Gaya Politik Baru: 'Presidential Club'

Gaya Politik Baru: "Presidential Club"

Nasional
Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Nasional
Luhut Minta Orang 'Toxic' Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Luhut Minta Orang "Toxic" Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Nasional
PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat 'Presidential Club'

PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat "Presidential Club"

Nasional
Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Nasional
Soal 'Presidential Club', Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

Soal "Presidential Club", Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

Nasional
Soal Presidential Club, Prabowo Diragukan Bisa Didikte Presiden Terdahulu

Soal Presidential Club, Prabowo Diragukan Bisa Didikte Presiden Terdahulu

Nasional
Soal 'Presidential Club', Golkar Yakin Prabowo Bisa Menyatukan para Presiden Terdahulu

Soal "Presidential Club", Golkar Yakin Prabowo Bisa Menyatukan para Presiden Terdahulu

Nasional
Tanggapi Isu 'Presidential Club', PDI-P: Terlembaga atau Ajang Kongko?

Tanggapi Isu "Presidential Club", PDI-P: Terlembaga atau Ajang Kongko?

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com