Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ati Kamil
Asisten Editor Kompas.com

Wartawan

Kisah Amelia Achmad Yani, 20 Tahun Menepi ke Desa Mengobati Luka Batin

Kompas.com - Diperbarui 29/09/2021, 08:12 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Pengantar: Kisah ini merupakan arsip Kompas.com yang pernah diterbitkan pada 10 Oktober 2017. Mengenang peristiwa G30S/PKI, artikel ini kami publish ulang. Tulisan ini dibuat wartawan Kompas.com, Widianti Kamil, yang khusus terbang ke Sarajevo untuk mewawancara anak Pahlawan Revolusi Jenderal Achmad Yani (sering ditulis Ahmad Yani), yaitu Amelia Achmad Yani. Amelia mengisahkan bagaimana ia berusaha mengobati luka batin. Ia sampai tinggal 20 tahun lebih di sebuah desa kecil, menepi dari keramaian kota.

Di desa sepi itulah ia baru bisa berdamai dengan keadaan. Perjalanan batinnya semakin kaya ketika ia mulai bertemu dengan para anggota keluarga keturunan PKI yang praktis berseberangan dengan kubu korban kekejaman PKI. Sesulit apakah Amelia membawa lari dan berusaha menyembuhkan luka batinnya? Seperti apa pertemuan Amelia dengan keluarga keturunan PKI? Simak tulisan di bawah ini. 


BAGI
Amelia Achmad Yani (67), September setiap tahun merupakan bulan yang mengingatkan ia kepada peristiwa lalu yang kelam bagi dirinya, keluarganya, dan bangsa Indonesia.

Amelia Achmad Yani, yang sedang bertugas sebagai Duta Besar Republik Indonesia (RI) untuk Bosnia dan Herzegovina, merupakan anak ketiga dari delapan putri dan putra almarhum Jenderal Achmad Yani dan almarhumah Yayu Rulia Sutowiryo.

Achmad Yani merupakan salah seorang pahlawan revolusi yang gugur sebagai korban dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S) PKI di Jakarta.

Pada 30 September 2017 siang waktu setempat, di kediamannya, Wisma Indonesia di Sarajevo, Bosnia dan Herzegovina, Amelia Achmad Yani mengadakan tahlilan bagi para pahlawan revolusi, terutama untuk almarhum ayahnya.

Baca juga: Doa dari Sarajevo untuk Para Pahlawan Revolusi

Selain itu, pada 1 Oktober 2017 pagi waktu setempat, Amelia Achmad Yani mengadakan upacara peringatan Hari Kesaktian Pancasila, juga di Wisma Indonesia, bersama staf Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Sarajevo beserta keluarga mereka.

Wartawan Kompas.com, Widianti Kamil, berada di Sarajevo untuk melihat bagaimana prosesi mengenang peristiwa 30 September 1965 yang dilakukan Amelia. 

Di Hotel Novotel Sarajevo Bristol, pada 3 Oktober 2017 petang waktu setempat, sebelum menjamu para tamu acara resepsi diplomatik dalam rangka 72 tahun Kemerdekaan Indonesia, Kompas.com mewawancarai langsung Amelia Achmad Yani.

Wawancara tersebut untuk menjawab banyak pertanyaan mengenai apa yang ada dalam dirinya tentang masa lalu dan kaitannya dengan masa kini dan masa mendatang. Simak wawancara di bawah ini.

Amlia Achmad Yani pada 30 September 2017 mengadakan tahlilan di Wisma Indonesia Sarajevo, Bosnia dan Herzegovina, untuk para pahlawan revolusi korban peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S) PKI.KOMPAS.com/ATI KAMIL Amlia Achmad Yani pada 30 September 2017 mengadakan tahlilan di Wisma Indonesia Sarajevo, Bosnia dan Herzegovina, untuk para pahlawan revolusi korban peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S) PKI.

Apa yang masih ada dalam pikiran dan perasaan Anda setiap kali 30 September tiba?

Bulan September, biarpun belum tanggal 30, pasti langsung teringat peristiwa yang sangat-sangat tidak bisa dilupakan, seperti sebuah potret yang berjalan.

Tiba-tiba lihat ayah saya diseret. Tiba-tiba dengar suara tembakan yang menggelegar. Itu terus sampai tanggalnya (30 September).

Setiap 30 September, di mana pun saya berada, pasti saya membuat tahlilan. Dan, saya sesuaikan, kalau di sini (di Wisma Indonesia), di Sarajevo (Bosnia-Herzegovina), saya sesuaikan tanggalnya dengan di Jakarta, jamnya juga bersamaan. Kodam (di Jakarta) membuat tahlilan setelah magrib, di sini jam satu (13.00 waktu Sarajevo).

Pengunjung melihat Monumen Pancasila Sakti di kawasan Lubang Buaya, Jakarta Timur, Minggu (8/5/2011). Nilai-nilai luhur Pancasila sebagai pemersatu bangsa saat ini dikhawatirkan semakin pudar seiring dengan makin kurangnya generasi muda mempelajari dan memahami Pancasila serta makin maraknya budaya kekerasan di kehidupan bangsa.KOMPAS/IWAN SETIYAWAN Pengunjung melihat Monumen Pancasila Sakti di kawasan Lubang Buaya, Jakarta Timur, Minggu (8/5/2011). Nilai-nilai luhur Pancasila sebagai pemersatu bangsa saat ini dikhawatirkan semakin pudar seiring dengan makin kurangnya generasi muda mempelajari dan memahami Pancasila serta makin maraknya budaya kekerasan di kehidupan bangsa.
Tanggal 1 Oktober memang peringatan secara nasional (Hari Kesaktian Pancasila di Indonesia). Cuma, tahun ini, jauh berbeda, karena ada pemutaran kembali film Pengkhianatan Gerakan 30 September, yang mungkin lebih dari 15 tahun tidak pernah diputar lagi, membuat rakyat lupa bahwa pernah terjadi sebuah pengkhianatan terhadap negara.

Ketika Indonesia melancarkan Dwikora (Dwi Komando Rakyat, pada 1965), semua pasukan ada di perbatasan Kalimantan Utara, lalu ada yang menusuk dari belakang. Makanya, saya bilang, itu bukan pemberontakan, itu pengkhianatan. Jadi, berkhianat kepada Negara Republik Indonesia.

Sejak DI/TII, PRI/Permesta, merebut Irian Barat, TNI itu betul-betul melakukan perang dan perang, enggak pernah selesai, lalu Dwikora, dan situasi menjadi sangat tidak menentu.

Anda menulis buku tentang ayah Anda dan peristiwa G30S/PKI mulai 1988 dan, pada era media sosial kini, juga menulis di Facebook. Tujuan Anda?

Saya ingin generasi muda belajar dari peristiwa-peristiwa sebelumnya, sehingga mereka tahu bahwa negara ini dibentuk dari sebuah revolusi, dari sebuah kebersamaan, dengan landasan Pancasila.

Saya pikir tadinya, anak muda itu banyak yang terkait hal-hal yang negatif. Saya pikir seperti itu. Ternyata, banyak sekali pemuda Indonesia, mahasiswa, yang sangat cinta, untuk mengetahui sejarah bangsa sendiri.

Begitu mereka menghubungi saya lewat Facebook, saya menulis tiap malam, untuk mereka, seperti apa pengorbanan itu.

Saya salah satu anak Pak Yani, yang mungkin, apa ya, merasakan betul secara hati nurani saya. ketika ibu saya selalu bilang begini, "Kenapa bapakmu dibunuh, salah apa dia?"

Setiap hari pembicaraannya itu terus, seperti tidak ada jawaban. Dan, kemudian, saya mencari jawaban itu dengan menulis.

Saya mulai mewawancarai Pak Nasution (AH Nasution), Pak Sarwo Edhie, Pak Soemitro. Semua saya wawancara. Saya tanya, seperti apa ayah saya sebetulnya, lalu kenapa harus dibunuh.

Di situ saya (juga) mulai membuka agenda bapak saya. Di situ ada beliau mengatakan, "Kenapa saya jadi prajurit? Karena saya patriot, karena saya cinta Tanah Air."

Itu message, itu penting sekali. Pesan dari orangtua saya itu penting sekali untuk generasi muda.

"Kenapa saya belajar? Untuk jadi apa? Kenapa saya jadi prajurit? Karena saya patriot."

Tidak harus jadi prajurit, lho. Tapi, semangat itu ada.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 9 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 9 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Ganjar Kembali Tegaskan Tak Akan Gabung Pemerintahan Prabowo-Gibran

Ganjar Kembali Tegaskan Tak Akan Gabung Pemerintahan Prabowo-Gibran

Nasional
Kultur Senioritas Sekolah Kedinasan Patut Disetop Buat Putus Rantai Kekerasan

Kultur Senioritas Sekolah Kedinasan Patut Disetop Buat Putus Rantai Kekerasan

Nasional
Kekerasan Berdalih Disiplin dan Pembinaan Fisik di Sekolah Kedinasan Dianggap Tak Relevan

Kekerasan Berdalih Disiplin dan Pembinaan Fisik di Sekolah Kedinasan Dianggap Tak Relevan

Nasional
Kekerasan di STIP Wujud Transformasi Setengah Hati Sekolah Kedinasan

Kekerasan di STIP Wujud Transformasi Setengah Hati Sekolah Kedinasan

Nasional
Ganjar Bubarkan TPN

Ganjar Bubarkan TPN

Nasional
BNPB: 13 Orang Meninggal akibat Banjir dan Longsor di Sulsel, 2 dalam Pencarian

BNPB: 13 Orang Meninggal akibat Banjir dan Longsor di Sulsel, 2 dalam Pencarian

Nasional
TNI AU Siagakan Helikopter Caracal Bantu Korban Banjir dan Longsor di Luwu

TNI AU Siagakan Helikopter Caracal Bantu Korban Banjir dan Longsor di Luwu

Nasional
Prabowo Diharapkan Beri Solusi Kuliah Mahal dan Harga Beras daripada Dorong 'Presidential Club'

Prabowo Diharapkan Beri Solusi Kuliah Mahal dan Harga Beras daripada Dorong "Presidential Club"

Nasional
Ide 'Presidential Club' Dianggap Sulit Satukan Semua Presiden

Ide "Presidential Club" Dianggap Sulit Satukan Semua Presiden

Nasional
Halal Bihalal, Ganjar-Mahfud dan Elite TPN Kumpul di Posko Teuku Umar

Halal Bihalal, Ganjar-Mahfud dan Elite TPN Kumpul di Posko Teuku Umar

Nasional
Pro-Kontra 'Presidential Club', Gagasan Prabowo yang Dinilai Cemerlang, tapi Tumpang Tindih

Pro-Kontra "Presidential Club", Gagasan Prabowo yang Dinilai Cemerlang, tapi Tumpang Tindih

Nasional
Evaluasi Mudik, Pembayaran Tol Nirsentuh Disiapkan untuk Hindari Kemacetan

Evaluasi Mudik, Pembayaran Tol Nirsentuh Disiapkan untuk Hindari Kemacetan

Nasional
Polri: Fredy Pratama Masih Gencar Suplai Bahan Narkoba Karena Kehabisan Modal

Polri: Fredy Pratama Masih Gencar Suplai Bahan Narkoba Karena Kehabisan Modal

Nasional
SYL Ungkit Kementan Dapat Penghargaan dari KPK Empat Kali di Depan Hakim

SYL Ungkit Kementan Dapat Penghargaan dari KPK Empat Kali di Depan Hakim

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com