Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Putusan Praperadilan Novanto Dinilai Beri Celah Korupsi Bersama-sama

Kompas.com - 30/09/2017, 16:18 WIB
Fachri Fachrudin

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Eksekutif Lingkar Madani (Lima), Ray Rangkuti, menilai putusan hakim tunggal praperadilan yang diajukan Setya Novanto, Cepi Iskandar, memudahkan para koruptor lolos dari jeratan hukum.

Sebab, penegak hukum, dalam hal ini adalah Komisi Pemberantasan Korupsi, akan kesulitan menjerat pelaku korupsi yang dilakukan secara bersama-sama.

Hal ini disampaikan Ray menanggapi pertimbangan hakim Cepi mengenai alat bukti yang sudah digunakan dalam perkara sebelumnya tidak bisa digunakan untuk menangani perkara selanjutnya, meski untuk tersangka yang berbeda.

"Jadi ini akan mempermudah sebetulnya, (mempermudah) orang untuk melakukan tindak pidana korupsi. Tapi jangan sendiri, melakukannya secara berjemaah," kata Ray dalam konferensi pers Koalisi Masyarakat Sipil Selamatkan KPK yang digelar di kantor ICW, Kalibata, Jakarta, Sabtu (30/9/2017).

(Baca: ICW Kemukakan 6 Kejanggalan Putusan Hakim Praperadilan Setya Novanto)

Ray juga menyoroti langkah-langkah KPK dalam mengungkap kasus korupsi e-KTP. Menurut Ray, jarak waktu cukup lama dibutuhkan KPK menetapkan Setya seabagi tersangka sejak awal kasus e-KTP mencuat.

Begitu juga setelah Setya Novanto ditetapkan sebagai tersangka, KPK tidak langsung menahan atau segera membawa kasusnya ke pengadilan. Hal itu, menurut Ray, membuka peluang bagi Setya mengambil langkah-langkah untuk meloloskan diri dari jeratan hukum.

"Itu yang kami sayangkan. Kenapa KPK begitu lambat sehingga memberi keleluasan tersangka ini melakukan berbagai hal, termasuk praperadilan," kata Ray Rangkuti.

Dalam sidang putusan praperadilan yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat (30/9/2017), Hakim Tunggal Cepi Iskandar mengabulkan gugatan praperadilan yang diajukan Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto.

Hakim menyatakan, penetapan tersangka Setya Novanto dalam kasus dugaan korupsi kartu tanda penduduk elektronik (E-KTP) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi tidak sah. KPK pun diminta untuk menghentikan penyidikan terhadap Novanto.

Ada sejumlah pertimbangan yang mendasari Hakim Cepi membuat putusan tersebut. Pertama, Cepi menilai penetapan tersangka Novanto oleh KPK sudah dilakukan di awal penyidikan.

(Baca: Ini Pertimbangan Hakim Cepi Batalkan Status Tersangka Setya Novanto)

Padahal, menurut Hakim, harusnya penetapan tersangka dilakukan di akhir tahap penyidikan suatu perkara. Hal itu harus dilakukan untuk menjaga harkat dan martabat seseorang.

Selain itu, Cepi juga mempermasalahkan alat bukti yang digunakan KPK. Hakim menilai alat bukti yang diajukan berasal dari penyidikan terhadap Irman dan Sugiharto, mantan pejabat Kementerian Dalam Negeri yang sudah divonis bersalah melakukan korupsi E-KTP.

Hakim menilai, alat bukti yang sudah digunakan dalam perkara sebelumnya tidak bisa digunakan untuk menangani perkara selanjutnya.

Kompas TV Sesakti apakah Setya Novanto dalam persolan kasus hukum karena selalu lolos dari belitan hukum?
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Ma'ruf Amin: 34 Kementerian Sudah Cukup, tetapi Bisa Lebih kalau Perlu

Ma'ruf Amin: 34 Kementerian Sudah Cukup, tetapi Bisa Lebih kalau Perlu

Nasional
Ada Gugatan Perdata dan Pidana, KPK Mengaku Harus Benar-benar Kaji Perkara Eddy Hiariej

Ada Gugatan Perdata dan Pidana, KPK Mengaku Harus Benar-benar Kaji Perkara Eddy Hiariej

Nasional
Jokowi Resmikan Modeling Budi Daya Ikan Nila Salin di Karawang

Jokowi Resmikan Modeling Budi Daya Ikan Nila Salin di Karawang

Nasional
Jokowi Naik Heli ke Karawang, Resmikan Tambak Ikan Nila dan Cek Harga Pangan

Jokowi Naik Heli ke Karawang, Resmikan Tambak Ikan Nila dan Cek Harga Pangan

Nasional
Sidang SYL, KPK Hadirkan Direktur Pembenihan Perkebunan Jadi Saksi

Sidang SYL, KPK Hadirkan Direktur Pembenihan Perkebunan Jadi Saksi

Nasional
Proyek Jet Tempur KF-21 Boramae dengan Korsel yang Belum Capai Titik Temu…

Proyek Jet Tempur KF-21 Boramae dengan Korsel yang Belum Capai Titik Temu…

Nasional
Indonesia Kecam Serangan Israel ke Rafah, Minta PBB Bertindak

Indonesia Kecam Serangan Israel ke Rafah, Minta PBB Bertindak

Nasional
Ganjar dan Anies Pilih Oposisi, Akankah PDI-P Menyusul?

Ganjar dan Anies Pilih Oposisi, Akankah PDI-P Menyusul?

Nasional
Kata Gibran soal Urgensi Adanya Kementerian Khusus Program Makan Siang Gratis

Kata Gibran soal Urgensi Adanya Kementerian Khusus Program Makan Siang Gratis

Nasional
Riwayat Gus Muhdlor: Hilang Saat OTT, Beralih Dukung Prabowo, Akhirnya Tetap Ditahan KPK

Riwayat Gus Muhdlor: Hilang Saat OTT, Beralih Dukung Prabowo, Akhirnya Tetap Ditahan KPK

Nasional
Cek Hotel dan Bus Jemaah Haji, Menag: Semua Baik

Cek Hotel dan Bus Jemaah Haji, Menag: Semua Baik

Nasional
Menerka Peluang Anies dan Ahok Berduet pada Pilkada DKI Jakarta

Menerka Peluang Anies dan Ahok Berduet pada Pilkada DKI Jakarta

Nasional
Gibran Sebut Ada Pembahasan soal Kementerian Khusus Program Makan Siang Gratis, tapi Belum Final

Gibran Sebut Ada Pembahasan soal Kementerian Khusus Program Makan Siang Gratis, tapi Belum Final

Nasional
Pengamat: Jangankan 41, Jadi 100 Kementerian Pun Tak Masalah asal Sesuai Kebutuhan

Pengamat: Jangankan 41, Jadi 100 Kementerian Pun Tak Masalah asal Sesuai Kebutuhan

Nasional
Utak-atik Strategi Jokowi dan Gibran Pilih Partai Politik, PSI Pasti Dicoret

Utak-atik Strategi Jokowi dan Gibran Pilih Partai Politik, PSI Pasti Dicoret

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com