JAKARTA, KOMPAS.com - Pihak Istana Kepresidenan menyambut baik keinginan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk melakukan rapat konsultasi dengan Presiden Joko Widodo.
Rapat konsultasi itu akan membahas tiga Rancangan Undang-Undang, yakni RUU Pemilu, RUU Anti-Terorisme dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan.
"Saya kira itu bagus. Itu hal yang lumrah juga karena pembuatan UU selain DPR kan juga pemerintah," kata Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki, di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (6/7/2017).
"Sehingga kalau memang kemudian ada proses dialog dan konsultasi atau apalah namanya dengan DPR, terutama untuk mencari kesepahaman untuk beberapa hal yang sekarang katakan lah macet, itu kan baik," tambah Teten.
Menurut Teten, apabila surat dari DPR sudah masuk, maka waktu rapat konsultasi akan segera diatur dengan menyesuaikan agenda Presiden Joko Widodo.
Saat ini, Presiden sedang berada di Hamburg, Jerman, menghadiri forum negara-negara G-20.
Pembahasan RUU pemilu saat ini memang mengalami kebuntuan karena pemerintah dan fraksi di DPR belum mencapai titik temu.
Dari kelima isu krusial, dua di antaranya sudah disepakati, yakni sistem pemilu yang tetap menggunakan sistem proporsional terbuka dan parliamentary threshold di angka 4 persen.
Tiga hal yang belum diputuskan, yakni presidensial threshold, metode konversi suara, dan sebaran kursi per dapil (daerah pemilihan).
Namun, selain soal RUU Pemilu, Teten mengatakan bahwa pemerintah juga berkepentingan mempercepat revisi UU Terorisme.
"Karena pemerintah ingin ada kemudahan, untuk mengambil tindakan terhadap terorisme sejak gejala dini, yang sekarang tidak bisa," ucap Teten.
Teten menyadari ada kekhawatiran dari DPR apabila aparat penegak hukum akan melakukan penyalahgunaan kewenangan yang mengarah pada pelanggaran hak asasi manusia.
Oleh karena itu, pemerintah mempunyai kepentingan untuk menjelaskan kepada DPR bahwa penyalahgunaan kekuasaan tidak akan terjadi.
"Kan sekarang tidak mungkin di era demokrasi ini pemerintah lakukan abuse of power. Saya kira kontrol masyarakat, DPR, media, sudah begitu kuat. Hal-hal seperti itu kan bisa ada kesepahaman," ucap Teten.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.