JAKARTA, KOMPAS.com - Pegiat Hak Asasi Manusia Amiruddin Al Rahab menyinggung peran para penasihat Presiden Joko Widodo soal pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme, sebagaimana diperintahkan Presiden.
Hal tersebut disampaikan Amiruddin dalam jumpa pers terkait petisi soal pelibatan TNI dalam penanganan terorisme, di kantor Amnesti Internasional Indonesia, di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (9/6/2017).
Seperti diketahui, pada sidang kabinet paripurna di Istana Kepresidenan, Bogor, Jawa Barat, Senin (29/5/2017), Jokowi ingin TNI dapat terlibat dalam pemberantasan terorisme.
Presiden pun meminta keterlibatan TNI dicantumkan dalam Rancangan Undang-Undang Antiterorisme yang hingga kini masih dibahas di DPR RI.
Menurut Amiruddin, Jokowi terburu-buru memerintahkan pelibatan TNI ini tanpa pertimbangan yang matang.
"Saya pikir, penasihat presiden ke depan lebih hati-hati, supaya ke depan kita lebih hati-hati dalam menghadapi hal seperti ini," kata Amiruddin.
Pasalnya, lanjut dia, Presiden sudah mengeluarkan perintah, padahal revisi undang-undangnya pun masih diajukan di DPR.
(Baca juga: Publik Setuju TNI Dilibatkan dalam Berantas Terorisme, tetapi...)
Anggota Presidium Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK), Maria Katarina Sumarsih, saat membacakan petisi yang merupakan suara Koalisi Masyarakat Sipil terkait pelibatan TNI ini menyatakan, Presiden perlu menjelaskan apa maksud dari keinginannya untuk memasukkan pelibatan TNI dalam revisi UU pemberantasan tindak pidana terorisrne.
"Sudah sepatutnya Presiden mempertimbangkan aturan hukum yang sudah ada yakni UU TNI yang sudah mempertegas bahwa pelibatan militer dalam mengatasi terorisme harus atas dasar keputusan politik negara," ujar Sumarsih.
Pengaturan pelibatan militer dalam revisi UU Antiterorisme tanpa melalui keputusan politik negara, lanjut Sumarsih, akan menimbulkan tumpang tindih fungsi dan kewenangan antaraktor pertahanan dan keamanan negara.
Selain itu, akan mengancam kehidupan demokrasi dan HAM, melanggar prinsip supremasi sipil dan dapat menarik militer kembali dalam ranah penegakan hukum sehingga dapat merusak mekanisme criminal justice system.
"Hal itu tentunya juga akan berlawanan dengan arus reformasi yang sudah menghasilkan capaian positif yaitu meletakkan militer sebagai alat pertahanan negara demi terciptanya tentara yang profesional," ujarnya.