JAKARTA, KOMPAS.com - Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah (LKPP) menilai proyek pengadaan Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik (e-KTP) tidak cukup diselesaikan dalam dua tahun.
LKPP menilai proyek tersebut setidaknya diselesaikan selama lima tahun.
"Itu terlalu tidak masuk akal, berdasarkan analisis kami ya. Kami kan berdasarkan pengalaman, kami juga punya ahli IT, jadi tidak sembarangan berpendapat," ujar pegawai LKPP Setya Budi Arijanta di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (17/4/2017).
(Baca: Staf Boediono Pernah Minta Supaya LKPP Tak Ribut soal E-KTP di Media)
Setya Budi merupakan mantan Ketua Tim Pendampingan proyek e-KTP di Kementerian Dalam Negeri.
Ia dihadirkan oleh jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi e-KTP.
Sembilan paket
Menurut Setya, sebelum proyek e-KTP dilaksanakan, LKPP telah menyampaikan saran agar proses lelang dipecah menjadi sembilan paket pekerjaan.
Hal itu bertujuan agar kompetisi dalam proses lelang dapat semakin ketat dan dilakukan dengan benar.
Selain itu, pemecahan masing-masing paket pekerjaan dinilai akan lebih memperkecil potensi kegagalan. Pemecahan juga diharapkan mengefisiensi waktu dan biaya.
(Baca: Panitia Lelang E-KTP Disebut Berupaya Menangkan Salah Satu Konsorsium)
Namun, pada kenyataannya, Kemendagri tetap menyatukan sembilan paket pekerjaan. Pihak Kemendagri beralasan penggabungan paket itu untuk memudahkan sinkronisasi dan mempercepat waktu pengerjaan proyek.
"Ya mereka selalu alasan waktu, waktu, waktu. Padahal dipercepat pun enggak ada gunanya menurut kami," kata Setya.
Proyek pengadaan e-KTP ditentukan menggunakan kontrak multiyears atau tahun jamak, dengan anggaran APBN pada 2011 dan 2012 yang totalnya mencapai Rp 5,9 triliun.
Audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menemukan indikasi kerugian negara sebesar lebih dari Rp 2 triliun dalam proyek e-KTP.