JAKARTA, KOMPAS.com - Dugaan penyimpangan dalam proyek pengadaan Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik (e-KTP) pernah dibahas di Kantor Wakil Presiden pada 2011. Wakil Presiden saat itu adalah Boediono.
Saat itu, Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) mengkritisi adanya temuan dugaan penyimpangan dalam proses pengadaan proyek e-KTP.
Gamawan Fauzi yang saat itu sedang menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri, tidak terima dengan tudingan LKPP. Gamawan kemudian melaporkan hal itu kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
(Baca: Panitia Lelang E-KTP Disebut Berupaya Menangkan Salah Satu Konsorsium)
"Waktu itu, Pak Mendagri lapor ke Presiden, karena hanya LKPP saja yang berpendapat pengadaannya tidak benar. Mendagri berpendapat, instansi lain menilai tidak ada masalah," ujar pegawai LKPP Setya Budi Arijanta di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (17/4/2017).
Setya Budi merupakan mantan Ketua Tim Pendampingan proyek e-KTP di Kemendagri. Ia dihadirkan oleh jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi e-KTP.
Menurut Setya, Presiden SBY saat itu menugaskan Boediono untuk menyelesaikan masalah antara LKPP dan Kemendagri. Kedua pihak kemudian dipertemukan di Kantor Wapres.
Dalam pertemuan itu, LKPP tetap pada keyakinan bahwa terjadi penyimpangan dalam proses lelang proyek e-KTP. LKPP berkeras bahwa kontrak pengadaan e-KTP harus dibatalkan.
"Karena waktu itu kan sudah kontrak, kami tidak tahu pertimbangannya jalan terus apa, tapi kami tidak boleh ribut di media," kata Setya Budi.
Menurut Setya Budi, permintaan agar LKPP tidak ribut di media itu disampaikan staf ahli dan deputi di Kantor Wakil Presiden.
"Tapi saya tidak mau. Karena Perpres 54 masih bunyi, sampai hari ini kalau ada pelanggaran prosedur, batal kontraknya," kata Setya.
(Baca: Tim Teknis E-KTP Diperintah Menangkan Konsorsium yang Tak Lolos Seleksi)
Saat ini, kasus dugaan korupsi dalam proyek e-KTP tengah ditangani KPK.
Dua mantan pejabat di Direktorat Kependudukan dan Catatan Sipil Kemendagri, Irman dan Sugiharto, duduk di kursi terdakwa.
Diduga, proyek senilai Rp 5,9 triliun tersebut merugikan keuangan negara Rp 2,3 triliun.