JAKARTA, KOMPAS - Keteladanan presiden ke-4 RI, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, kian relevan diamalkan para pemimpin masa kini. Keteladanan itu di antaranya berupa sikap kebangsaan, ketauhidan, kemanusiaan, keadilan, persatuan, dan kebersamaan. Keteladanan Gus Dur itu kian relevan untuk menyikapi persoalan keagamaan dan kebangsaan.
Terkait dengan hal itu, Ketua Umum DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar, Minggu (26/3), di Jakarta, mengatakan, PKB akan menyelenggarakan program Sekolah Kepemimpinan Gus Dur yang pada tahap pertama ini diikuti 150 kader. Becermin pada Gus Dur adalah tepat karena Gus Dur selain sebagai pendiri PKB juga bapak bangsa. "Sekolah kepemimpinan Gus Dur ini panjang. Nanti ada penugasan dan pengujian, jadi belum tentu lulus mudah," katanya.
Keteladanan Gus Dur yang relevan ini juga dikatakan para pembicara yang hadir dalam pembukaan Sekolah Kepemimpinan Gus Dur, yakni Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan, cendekiawan Ignas Kleden, komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Siane Indriani, komisioner Ombudsman RI Ahmad Suaedy, dan Redaktur Pelaksana Kompas Mohammad Bakir.
Menurut Muhaimin, ketauhidan sebagai satu prinsip dasar kepemimpinan Gus Dur tampak pada sikap Gus Dur yang menjadikan agama sebagai spirit, bukan formalisasi. Agama tidak dipisahkan dalam segala bidang kehidupan, termasuk politik. Prinsip kemanusiaan, keadilan, persatuan, dan kebersamaan tampak jelas dicontohkan Gus Dur selama ia hidup. Prinsip lain adalah kesejahteraan.
"Prinsip kepemimpinan Gus Dur hendaknya menjadi cermin bagi para pemimpin daerah, anggota Dewan, hingga pimpinan DPC PKB di mana pun, agar mereka bisa membawa pembaruan, perubahan, dan kesejahteraan masyarakat. Saat ini, konservatisme merebak di mana-mana. PKB harus menjadi ujung tombak untuk menunjukkan bahwa Islam itu menyejukkan," ucap Muhaimin.
Ignas Kleden mencermati beberapa hal dalam diri Gus Dur. Pertama, ketokohan dan kepribadian. Gus Dur memiliki legitimasi sebagai cucu pendiri NU yang dididik seorang menteri agama pada masanya. Legitimasi itu kuat, tetapi ia tidak ingin menikmati status itu dan memilih belajar ke Mesir dan Baghdad.
Selain itu, lanjutnya, Gus Dur juga berperan sebagai tokoh masyarakat sipil yang turut mempraktikkan dan memperjuangkan HAM, hak politik kelompok minoritas, dan interaksi antaragama. Mendirikan partai politik adalah sebentuk kristalisasi dari gerakan sosial. Hal ketiga yang diberikan Gus Dur adalah warisan pembaruan yang mendesakralisasi kekuasaan politik, yakni bahwa politik bukan hanya urusan elite politik.
Sementara bagi Luhut, Gus Dur adalah pemimpin dengan visi kebangsaan yang luas. Ia belajar melihat negara ini dari Gus Dur yang selalu bicara tentang persatuan dan kesatuan. (IVV)
---
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 27 Maret 2017, di halaman 5 dengan judul "Keteladanan Gus Dur Kian Relevan".