JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Pemeriksaan dan Riset Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Ivan Yustiavandana menilai, layanan berbasis informasi dan teknologi yang akrab disebut financial technology (fintech) masih rentan disalahgunakan.
Bukan hanya untuk tindak pidana pencucian uang, tetapi fintech juga berpotensi menjadi media transaksi untuk mendanai tindak pidana terorisme.
"(Potensi) ini sangat besar, menggunakan Bitcoin, PayPal," kata Ivan, di Hotel Aston Bogor, Jumat (24/3/2017).
Menurut Ivan, pada umumnya untuk transaksi pendanaan terorisme melalui bank nominalnya kecil. PPATK juga cukup kesulitan untuk melacak transaksi keuangan dengan menggunakan fintech yang nominalnya kecil.
Ivan mencontohkan pada kasus bom Bali. Menurut dia, per transaksi yang paling besar dilakukan terbilang tidak besar, sehingga seakan tampak wajar dengan transaksi pada umumnya.
Kendala lainnya, sistem pencatatan transaksi tidak langsung terhubung perbankan.
"Per transaksi paling besar sekitar Rp 40 juta, itu terdeteksi untuk bom Bali dan keseringan hanya kurang dari Rp 20 juta, maka dari itu sering tidak terdeteksi oleh pihak bank," kata Ivan.
(Baca juga: Polri Dalami Aliran Dana Teror dari Bahrun Naim Melalui "Fintech")
Ivan menambahkan, yayasan juga berpotensi digunakan untuk melakukan pengiriman dana kepada kelompok teroris.
"PPATK melakukan pemantauan semua transaksi yang dari negara-negara yang berpotensi melakukan pengiriman dana mencurigakan termasuk aliran dana untuk pendanaan terorisme melalui sebuah yayasan," kata dia.
Menurut Ivan, hingga saat ini PPATK baru bisa menelusuri aliran dana setelah para oknum tersebut mengakses perbankan untuk mancairkan dana yang mereka dapat dari akun fintech-nya.
Dalam rangka pengawasan terhadap transaksi mencurigakan itu, kata Ivan, PPATK sudah berkoordinasi intensif dengan kepolisian, Bank Indonesia, serta Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
"Diharapkan pengungkapan kejahatan, terutama terorisme dapat dilakukan lebih efisien," kata Ivan.