JAKARTA, KOMPAS.com - Penyebaran berita palsu (hoax) dan paham radikalisme dinilai sudah berada pada tingkat yang mengkhawatirkan.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komisaris Jenderal Suhardi Alius menilai, saat ini muncul budaya masyarakat dalam menyebarkan informasi di internet tanpa adanya proses verifikasi.
Sehingga informasi palsu menyebar dengan cepat, kemudian diyakini sebagai sebuah kebenaran.
"Sekarang ini muncul budaya sharing tanpa saring dan ada budaya malas untuk memverifikasi informasi yang diterima," ujar Suhardi saat berbicara di acara Saresehan Pencegahan Propaganda Radikal Terorisme di Dunia Maya bersama sejumlah instansi pemerintah, di Hotel Royal Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (16/2/2017).
(Baca: Media Sosial, Penyebaran "Hoax", dan Budaya Berbagi...)
Suhardi tidak menampik anggapan bahwa internet telah menjadi suatu kebutuhan baru di masyarakat.
Hampir setiap orang mengandalkan internet untuk menjalani aktivitas sehari-hari. Bahkan untuk berkomunikasi dan mencari informasi.
Namun, lanjut Suhardi, masyarakat juga harus menyadari, banyak kelompok memanfaatkan isu-isu nasional untuk menyebarkan fitnah dan narasi opini radikalisme.
Dia menyebut fenomena itu sebagai tanda lahirnya bentuk terorisme baru.
"Internet telah mengubah cara berpikir kita, dari normal menjadi radikal. Internet juga menjadi tanda lahirnya terorisme baru karena digunakan sebagai penyebaran propaganda," tuturnya.
Untuk menanggulangi fenomena tersebut, kata Suhardi, BNPT berupaya membangun budaya literasi di masyarakat sebagai bentuk pencegahan.
BNPT juga akan bersinergi dengan seluruh kelompok dan organisasi kemasyarakatan yang selama ini peduli dengan isu radikalisme.
"Cara mencegah dengan membangun budaya literasi. Membangun budaya cerdas di masyarakat. Kami juga akan undang komunitas untuk bersinergi dalam menanggulangi penyebaran berita hoax," tuturnya.
(Baca: Melawan "Hoax" dengan Pikiran)
Pada kesempatan yang sama, Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto mengatakan, dinamika ancaman yang menyerang negara telah banyak berubah.
Menurut dia, ancaman baru dengan memanfaatkan teknologi informasi terus berkembang.
Di sisi lain, dia mengakui upaya penanggulangan radikalisme dan terorisme belum maksimal.
"Persiapan (menanggulangi radikalisme) minim, seakan-akan kita hanya bertumpu dengan doa. Ini betul dan tidak boleh terjadi, kalau terlena kita akan ketinggalan dengan negara lain dalam memberantas terorisme," ujarnya.