JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Puri Kencana Putri berpendapat, pencantuman pasal pelibatan TNI dalam draf revisi Undang-undang No 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme harus diimbangi dengan mekanisme pengawasan yang tepat.
Jika TNI dilibatkan dalam upaya penanggulangan terorisme, maka pemerintah dan DPR juga harus merivisi Undang-Undang No 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
"Kita tidak pernah bicara tentang aturan main bagi pelibatan tentara dalam penanggulangan terorisme. Tentara itu terikat dengan yang namanya undang-undang peradilan militer. Nah UU itu tidak dibahas seiring dengan pembahasan pasal pelibatan TNI dalam revisi UU penanggulangan terorisme," ujar Puri, di Kantor Kontras, Kramat Raya, Jakarta Pusat, Jumat (16/12/2016).
Dalam pantauan Kontras, kerja TNI terlihat menonjol ketika dilibatkan dalam operasi perburuan kelompok teroris Santoso di Poso.
Untuk situasi khusus tertentu, kata Puri, keterlibatan tentara memang diperbolehkan.
Bantuan dalam penegakan hukum tersebut masuk kategori operasi militer selain perang.
Namun, jika dilihat dalam kasus-kasus penindakan terorisme, yang lebih banyak terjadi adalah penyerangan di tempat-tempat publik.
Idealnya, menurut Puri, penindakan di ruang publik merupakan domain kepolisian.
"Memang harus ada peraturan yang mengatur kapan TNI bisa diperbantukan dalam upaya penindakan terorisme. Salah satunya melalui revisi UU Peradilan Militer sebagai mekanisme pengawasan terhadap kerja-kerja TNI nantinya," kata Puri.
Pada kesempatan yang sama, staf Divisi Pembelaan Hak Sipil dan Politik Kontras, Arif Nur Fikri mengatakan, UU Peradilan Militer harus direvisi agar mekanisme pengawasan terhadap TNI lebih akuntabel dan transparan.
Menurut Arif, pelibatan TNI dalam penanggulangan terorisme rentan disalahgunakan jika tidak ada mekanisme pengawasan yang terbuka, misalnya potensi penggunaan alasan terorisme untuk melakukan operasi pemberantasan kelompok separatis di Papua.
"Jangan sampai ketika UU ini diberlakukan, banyak operasi di daerah lain yang mengatasnamakan pemberantasan terorisme. Ini dampaknya akan berbahaya, timbul penyalahgunaan wewenang," ujar Arif.
"Mekanisme penindakan dan pengawasan anggota TNI yang melakukan operasi pemberantasan itu juga masih minim. UU Peradilan militer harus direvisi agar pertanggungjawabannya akuntabel dan transparan," papar dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.