JAKARTA, KOMPAS.com — Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Zainut Tauhid Sa'adi mengatakan, usulan gerakan "rujuk nasional" yang diinginkan MUI semata didasarkan kepada keprihatinan atas kondisi Indonesia saat ini.
Zainut menilai, saat ini kehidupan kebangsaan di Indonesia semakin jauh dari semangat cita-cita para pendiri bangsa.
"Jauh dari semangat dan nilai-nilai dasar kebangsaan kita, yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika," ujar Zainut dalam rilis persnya, Rabu (30/11/2016).
Pasalnya, kata Zainut, kehidupan kebangsaan di Indonesia sedang mengalami distabilitas yang mengarah kepada keretakan nasional.
Sebab, suasana saling curiga di antara masyarakat semakin mencuat dan dapat menimbulkan kesalahpahaman.
Untuk itu, MUI melalui rencana rujuk nasional berupaya mengajak masyarakat kembali kepada komitmen Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.
"Semangat untuk kembali kepada nilai-nilai dasar perjuangan bangsa Indonesia itu yang disebut dengan rujuk nasional. Rujuk berasal dari bahasa Arab, ruju', yang artinya 'kembali'," tutur Zainut.
Bagi MUI, kata Zainut, eksistensi Indonesia tidak bisa dilepaskan dari perjuangan ulama, umat Islam, dan elemen bangsa lainnya.
"Dengan demikian, komitmen terhadap Pancasila, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika bersifat final dan mengikat," kata Zainut.
(Baca: Jokowi: Rujuk Apa? Yang Berantem Siapa?)
Presiden Joko Widodo sebelumnya menilai, istilah rujuk nasional tersebut tidak tepat.
"Rujuk apa? Yang berantem siapa? Saya kira rujuk-rujuk itu, la wong kita enggak berantem, kok," kata Jokowi seusai makan siang dengan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar di teras Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (29/11/2016).
Jokowi menilai, kondisi bangsa saat ini baik-baik saja sehingga tak perlu ada rujuk nasional.
(Baca: Jokowi: Siapa Bilang Ada Demo 2 Desember? Yang Ada Doa Bersama)
Ia menyinggung pertemuannya dengan berbagai ormas Islam, seperti Majelis Ulama Indonesia, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, dan Muhammadiyah.