MASA kampanye dalam Pilkada merupakan ajang perjuangan bagi para pasangan calon (paslon) untuk menyosialisasikan program-programnya kepada khalayak ramai atau para calon pemilihnya.
Berbagai cara dan strategi digunakan oleh para pasangan calon dan tidak terkecuali bagi para Paslon di Pilkada DKI dalam memperebutkan posisi gubernur dan wakil gubernur.
Sorotan terhadap Pilkada di DKI sangat tajam mengingat paslon yang tampil sebenarnya dapat dianggap sebagai representasi tokoh-tokoh nasional, hal tersebut dapat dilihat dari turunnya para pembesar paslon tersebut dalam kampanye maupun atribut kampanyenya, seperti Megawati Soekarnoputri, Prabowo Subianto, dan Susilo Bambang Yudhoyono.
Judul yang ditampilkan penulis di atas dapat dianggap sebagai judul yang provokatif mengingat ada ketentuan yang mengatur berbagai larangan untuk berkampanye sebagaimana diatur dalam Pasal 69 Undang-Undang Nomor 01 Tahun 2015 sebagaimana dirobah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perobahan Kedua atas UU No. 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi undang-undang.
Berdasarkan Pasal 69 huruf i para Paslon dilarang berkampanye dengan menggunakan tempat ibadah dan tempat pendidikan.
Mengapa Paslon dilarang berkampanye ditempat ibadah dan tempat pendidikan? Masalah agama adalah masalah yang sangat sensitif. Apabila disalahgunakan dalam berkampanye, dikhawatirkan akan menyulut konflik yang besar, terlebih di Indonesia yang mengenal beragam agama dan kepercayaan sehingga sangat rawan konflik.
Walaupun banyak yang memandang bahwa tempat ibadah adalah tempat yang murah untuk menyampaikan visi misi Paslon, oleh karena tidak perlu biaya besar untuk mengumpulkan massa yang banyak di satu tempat.
Apa sanksi atas pelanggaran melakukan kampanye di tempat ibadah dan tempat pendidikan? Pengaturan sanksi terhadap Pasal 69 huruf i diatur dalam Pasal 187 ayat (3) yang berbunyi sebagai berikut:
"Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan larangan pelaksanaan kampanye pemilihan Bupati/Walikota, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 huruf g, huruf i, atau huruf j dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1(satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp.100.000,- (seratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah)."
Berdasarkan Pasal 187 ayat (3) di atas, sanksi yang diatur atas pelanggaran melakukan kampanye pemilihan Bupati/Walikota di tempat ibadah dan tempat pendidikan sudah jelas dan final.
Namun menjadi pertanyaan adalah bagaimana dengan kampanye pemilihan Gubernur sebagaimana di DKI. Apakah sanksi tersebut dapat diterapkan?
Mengingat Pasal 187 ayat (3) hanya mengatur sanksi pidana terkait larangan pelaksanaan kampanye pemilihan Bupati/Walikota, maka dengan kata lain tidak ada sanksi pidana terhadap kampanye yang dilakukan tempat ibadah dan tempat pendidikan untuk Pilkada di DKI maupun provinsi lainnya.
Selain tiadanya sanksi terhadap kampanye pemilihan Gubernur di tempat ibadah dan tempat pendidikan, Pasal 187 ayat (3) juga tidak memberikan sanksi terhadap larangan "merusak dan/atau menghilangkan alat peraga kampanye" (Pasal 69 huruf g), "menggunakan fasilitas dan anggaran pemerintah dan pemerintah daerah", atau "melakukan pawai yang dilakukan dengan berjalan kaki dan/atau dengan kendaraan di jalan raya" (Pasal 69 huruf j).
Seharusnya kata "pemilihan Bupati/Walikota" ditiadakan atau tidak dicantumkan dalam Pasal 187 ayat (3), sehingga yang dimaksud dengan kampanye pemilihan mengacu kepada Ketentuan Umum Pasal 1 ayat (21) yang menjelaskan mengenai Kampanye Pemilihan yaitu:
"Kampanye Pemilihan yang selanjutnya disebut Kampanye adalah kegiatan untuk meyakinkan Pemilih dengan menawarkan visi, misi, dan program Calon Gubernur, Calon Bupati, dan Calon Walikota."
Mengingat proses Pilkada serentak baru saja berjalan, kiranya Komisi Pemilihan Umum (KPU) segera membuat regulasi atau Peraturan KPU yang memperbaiki ketentuan di atas untuk menghindari adanya potensi kegaduhan dimasyarakat, mengingat ketentuan tersebut menunjukkan adanya diskriminasi/perlakuan yang berbeda di depan antara calon Bupati/Walikota dengan Calon Gubernur.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.