JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) melayangkan permintaan maaf kepada publik, Senin (31/10/2016).
Permintaan maaf tersebut terkait Laporan Hasil Pemeriksaan atas Kepatuhan terhadap Perundang-undangan Komnas HAM tahun 2015 Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
BPK menemukan dugaan penyimpangan anggaran dalam lembaga tersebut.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Tama S langkun mengatakan, Komnas HAM sudah seharusnya meminta maaf.
Pasalnya, ada delapan kejanggalan dalam pengelolaan keuangan di Komnas HAM.
Hal ini membuat BPK menolak memberikan opini karena sejumlah bukti keuangan belum lengkap.
Kejanggalan pertama, yakni indikasi fiktifnya realisasi belanja barang dan jasa dengan nilai minimal Rp 820,25 juta.
(Baca: Penyelewengan Anggaran Komnas HAM Pengaruhi Kepercayaan Publik)
Auditor BPK, kata Tama, menemukan 671 bukti berbentuk nota yang tidak dapat dipertanggungjawabkan oleh Komnas HAM.
"Penelusuran lebih lanjut, ditemukan tiga rekanan pemberi nota yang tidak dapat ditemukan keberadaannya," kata Tama, ketika dihubungi di Jakarta, Selasa (1/11/2016).
Kejanggalan kedua, adanya biaya sewa rumah dinas komisioner senilai Rp 330 juta yang tidak sesuai ketentuan.
Tama mengatakan, berdasarkan penelusuran BPK, salah seorang komisioner berinisial DB tidak menempati rumah yang disewa menggunakan anggaran Komnas HAM.
"Celakanya, dengan menggunakan serangkaian transaksasi menggunakan tangan pihak ketiga, uang yang dibayarkan Komnas HAM masuk kembali ke rekening pribadi DB," tutur Tama.
Kejanggalan ketiga, pembayaran uang saku rapat dalam kantor yang tidak sesuai ketentuan sebesar Rp 2,17 miliar.
"Prinsipnya pembayaran tersebut tidak sesuai Peraturan Menteri Keuangan yang mensyaratkan adanya peserta eselon dua atau masyarakat, dilaksanakan minimal tiga jam di luar jam kerja, dan tidak mendapatkan uang lembur," ujar Tama.