JAKARTA, KOMPAS - Kohesi sosial yang menjadi pengikat bangsa Indonesia yang begitu beragam semakin kendur akibat menguatnya pragmatisme politik dan ikatan-ikatan primordial. Kondisi semakin diperparah oleh lebarnya kesenjangan sosial ekonomi. Jika terus dibiarkan, peluruhan kohesi sosial ini akan menyuburkan prasangka yang mendorong timbulnya konflik sektarian.
Syamsuddin Haris, peneliti politik senior di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Minggu (16/10), saat dihubungi dari Jakarta menuturkan, penyebab kendurnya ikatan kebangsaan di Indonesia disebabkan semakin kuatnya nilai pragmatisme, termasuk pragmatisme kekuasaan.
Semua orang ingin mencapai keinginan dengan cara instan. Selain itu, globalisasi yang membawa nilai-nilai demokrasi, di saat bersamaan juga memperkuat ikatan primordialisme berbasis agama, daerah, dan asal-usul.
Hal ini diperparah oleh krisis kepemimpinan yang melanda bangsa Indonesia setelah Orde Baru. Proses demokrasi di Indonesia memunculkan pemimpin pilihan rakyat, tetapi mereka hadir tanpa diikuti visa kebangsaan yang bisa memperkuat kohesi sosial.
Menurut dia, figur yang muncul justru penguasa yang berorientasi pemenuhan hak pribadi atau kelompok, bukan pemimpin yang punya tanggung jawab. ”Kecurigaan dan prasangka akan semakin menguat. Pada akhirnya, hal ini bisa memicu konflik sosial politik sektarian. Politik tidak lagi rasional. Akal sehat menjadi hal yang marjinal,” katanya.
Keadilan sosial
Direktur Eksekutif Reform Institute Yudi Latif, secara terpisah, menuturkan, retaknya kohesi sosial di Indonesia disebabkan beberapa faktor, salah satunya keadilan sosial yang diharapkan, tetapi nyatanya tidak kunjung terealisasi.
Padahal, keadilan sosial itu sesuatu yang kasatmata. Menurut dia, setelah reformasi, Indonesia mengalami surplus kebebasan, tetapi defisit keadilan. Kesenjangan sosial juga makin lebar.
Menurut Yudi, alih-alih terjadi peleburan sosial, segregasi sosial yang diciptakan penjajah, ternyata setelah 71 tahun Indonesia merdeka justru mengeras.
Ia menilai, relasi sosial silang budaya masih menjadi tantangan. Bahkan, belakangan muncul permukiman dan sekolah yang melahirkan pola relasi homogen, berbasis golongan, agama, atau suku. ”Kedalaman dalam proses silang budaya menjadi macet. Akibatnya, melahirkan banyak kesalahpahaman di antara golongan berbeda,” ujar Yudi.
Yudi mendorong upaya dari masyarakat untuk sama-sama kembali mengintensifkan relasi sosial yang inklusif. Dengan demikian, demokrasi tidak dimaknai sebagai suara mayoritas, tetapi lebih pada pengembangan demokrasi yang deliberatif, melibatkan semua pemangku kepentingan.
Untuk itu, ruang komunikasi harus dibuka lebar-belar. Namun, langkah ini, menurut Yudi, harus diikuti upaya pemerintah untuk meredistribusi kesejahteraan sehingga berkeadilan.
Sementara itu, dari sisi kepemimpinan nasional, Syamsuddin berharap muncul pemimpin politik yang punya visi kebangsaan dan lebih tunduk pada konstitusi ketimbang mengejar popularitas elektoral belaka. (GAL)
Versi cetak artikel ini terbit di harian "Kompas" edisi 17 Oktober 2016, di halaman 2 dengan judul "Ikatan Kebangsaan Kian Kendur"
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.